Jakarta (ANTARA News) - Ledakan diikuti kebakaran hebat pada satu pabrik petasan dan kembang api, terjadi di kawasan Kosambi, Tangerang, Banten, Kamis kemarin (26/10). Tidak kurang 47 orang tewas terbakar dan puluhan yang lain luka parah. Peristiwa memilukan ini menjadi sorotan dunia, tidak kurang TIME mempublikasikan kecelakaan mematikan di Indonesia itu.
Petasan, mercon, kembang api, dan lain sebagainya merupakan bahan peledak yang dalam jumlah kecil menjadi hiburan namun bisa mematikan jika dibakar atau dinyalakan dalam jumlah besar dan cara yang sembrono. Di Indonesia, terkhusus menjelang Lebaran, polisi kerap merazia penjualan dan penyimpanan petasan dan mercon ini, untuk alasan keamanan dan keselamatan publik.
Walau begitu, tradisi memainkan petasan, mercon, dan kembang api ini tetap berjalan begitu saja dan mereka mudah dibeli di banyak tempat, mulai dari lapak kaki lima di trotoar jalan hingga dalam mall-mall yang berpendingin udara nan sejuk. Harganya macam-macam, dari sekedar uang recehan hingga sangat mahal.
Sebetulnya, bagaimana materi-materi dan senyawa-senyawa penyusun bahan peledak petasan dan mercon itu? Berbagai sumber yang ditelusuri di Jakarta, Jumat, menyatakan, petasan atau mercon dibuat karena produksi suaranya yang mengagetkan, menggelegar, dan dirasa seru untuk keperluan tertentu karena ada reaksi kimia di dalam “bubuk mesiu†yang dibungkus kertas.
Keberadaan petasan dan mercon ini tidak bisa lepas dari fakta sejarah di China pada abad ke-9, saat seorang juru masak secara tak sengaja mencampur tiga bahan “bubuk hitamâ€, yakni garam peter atau kalium nitrat, belerang, dan arang, dari kayu bakar yang berasal dari dapurnya. Campuran ketiga bahan itu mudah terbakar walau komposisi persisnya belum dipahami benar-benar.
Semula, “bubuk hitam†ini dipergunakan bukan untuk keperluan peledakan atau keperluan perang, melainkan untuk keperluan ritual kepercayaan dan penyelamatan jiwa, yaitu untuk mengusir roh jahat. “Bubuk hitam†ini dimasukkan ke dalam bambu, dipadatkan, ditutup rapat, dan diberi sumbu, yang kemudian dibakar.
Pada saat dinasti Song (960-1279 M) berkuasa di China, pabrik-pabrik petasan untuk keperluan keindahan dan perayaan didirikan. Dari sinilah seni kembang api dengan warna-warni yang cantik di udara malam bermula dan menyebar ke seluruh dunia.
Sampai saat itu dan beberapa masa kemudian, Barat belum memahami kunci-kunci pembuatan “bubuk hitam†itu.
Cukup banyak kisah tentang betapa keras upaya Barat merebut teknologi bahan peledak ini dibuat, salah satunya film Holywood, Great Wall, yang diluncurkan tahun lalu.
Sampai kemudian pada masa Renaissance, di Italia dan Jerman ada sekolah yang khusus mengajarkan masalah pembuatan kembang api. Italia menekankan pada kerumitan kembang api, sedangkan Jerman menekankan pada kemajuan ilmu pengetahuan, hingga akhirnya muncul istilah pyrotechnics yang menggambarkan seni membuat kembang api, di mana pengusaan ilmu kimia dan fisika menjadi kunci utamanya.
Contohnya adalah, untuk membuat kembang api warna merah diperlukan unsur strontium dan lithium, warna kuning berasal dari natrium, warna hijau berasal dari barium dan warna biru dari plumbun alias tembaga. Campuran bahan kimia itu dibentuk ke dalam kubus kecil-kecil yang disebut star.
Star inilah yang menentukan warna dan bentuk bila kembang api itu meledak nantinya, dengan cara dilontarkan atau dibakar sumbunya di darat.
Sebagian sejarawan mencatat, adalah saudagar China juga yang membawa kebiasaan dan kegemaran memainkan petasan dan kembang api itu ke Hindia Belanda, yang kebanyakan untuk ritual dan tradisi mereka.
Adat-istiadat etnis Betawi melestarikan hal ini hingga kini, di mana tidak jarang petasan-petasan cabe rawit (karena ukurannya mirip cabe rawit) dinyalakan saat pesta perkawinan mereka digelar, atau menyalakan kembang api pada hari-hari besar tertentu di beberapa etnis lain di Indonesia.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017