Depok (Antara) -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memandang mahasiswa merupakan mitra strategis dalam rangka pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Dalam acara "Temu Wicara dan Kenal Medan Mahasiswa Pecinta Alam Tingkat Perguruan Tinggi se-Indonesia ke-29 yang di selenggarakan di Depok, Kamis (26/10), Kementerian ESDM melakukan sosialisasi mengenai progam dan kebijakan di bidang EBT.
Hadir dalam kesempatan tersebut Kepala Bagian Rencana dan Laporan, Qatro Romandhi dan Kepala Subbag Informasi Hukum Bambang Wijiatmoko mewakili Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana.
Dalam pemaparannya, Qatro menjelaskan mengenai pentingnya pengembangan EBT sebagai energi masa depan Indonesia. "EBT berhubungan dengan energi non-fosil dan bersifat terbarukan, sehingga ramah lingkungan," katanya.
Mahasiswa dipandang sebagai mitra penting dalam pengembangan EBT. Qatro menekankan, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri untuk mencapai target bauran EBT yang telah ditetapkan sebesar 23% pada tahun 2025. Untuk itu dibutuhkan peran semua pihak, dalam mendorong inovasi teknologi dan pemanfaatan EBT.
Qatro menyampaikan mengenai progam Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) untuk menerangi desa-desa yang belum berlistrik, utamanya desa yang masih gelap gulita. Progam yang digagas Menteri ESDM Ignasius Jonan ini menargetkan menerangi 293 ribu rumah di 2.500 desa yang masih gelap gulita. "Ini untuk menjangkau daerah yang tidak terjangkau PLN," ujarnya.
Tak hanya itu saja, Qatro juga menyampikan keunggulan EBT dibandingkan dengan menggunakan energi fosil. Selain ikut berkontribusi mencapai target rasio elektrifikasi sebesar 97% pada tahun 2025, EBT juga akan memberikan kontribusi sebesar 314 juta ton CO2 dalam program penurunan gas rumah kaca.
Dalam kesempatan itu, ratusan mahasiswa pecinta alam yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia antusias mengikuti paparan yang disampaikan. Salah satu mahasiswa Bobby, mengkritisi mengenai isu lingkungan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturranden. Menanggapi hal tersebut, Bambang menyatakan bahwa kekhawatiran mengenai rusaknya lingkungan akan minim. Sebab, kata Bambang, PLTP dalam pengoperasiannya akan membutuhkan air sehingga pengembang akan segera melakukan reboisasi kawasan hutan yang rusak saat proses pembangunan. "Nantinya akan hijau, kalau tidak ada air tidak bisa beroperasi," imbuh Bambang.
Apa yang disampaikan Bambang ini senada dengan yang disampaikan Rida beberapa waktu lalu. “Setiap PLTP pasti memerlukan air. Tidak mungkin merusak hutan, karena begitu rusak hilang airnya hilang,†ujarnya.
Wilayah kerja panas bumi akan melindungi hutan yang ada di sekitarnya karena hutan tersebut merupakan tempat sumber air yang dipanaskan menjadi uap yang dibutuhkan untuk menggerakkan turbin.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017