Meski tak sepenuhnya mengandung kebenaran, perumpamaan ini bolehlah dijadikan jembatan untuk memahami fenomena berikut, "Terlalu banyak mengonsumsi bacaan instan itu ibarat terlalu banyak menyantap mi instan".
Hal itu, kurang menyehatkan sehingga perlu diimbangi dengan mengonsumsi santapan yang lebih bergizi.
Di era kultur media sosial dengan fasilitas telepon genggam cerdas, berbagai bahan bacaan, tontonan yang bisa memperkaya pengetahuan dan meluaskan wawasan begitu berlimpah.
Bacaan dan tontonan sepotong-sepotong, yang diformat dengan ringkas, tanpa kedalaman, bersifat menghibur bisa dikaterogikan sebagai literasi instan.
Di Facebook setiap orang bisa menemukan kisah-kisah pengalaman keseharian maupun yang unik yang disampaikan dengan ringkas, menginspirasi dan tak jarang bermuatan humor yang kadang lucu, setengah lucu, maupun tak lucu.
Petuah-petuah keagamaan juga bertebaran di media sosial. Pengalaman nyata yang mengajak warganet untuk bersimpati dan berbagi pada mereka yang menderita, memerlukan pertolongan juga tak kurang jumlahnya.
Bagi warganet yang sudah bertahun-tahun dan terbiasa menyantap literasi instan semacam itu tentu membutuhkan tekad kuat untuk meluangkan waktu menyimak bacaan yang lebih mendalam dan menuntut kesabaran yang tinggi.
Tanpa kemauan dari dalam diri masing-masing pribadi, seruan untuk meningkatkan tahap yang lebih jauh dalam mengonsumsi literasi yang noninstan buat publik hanya akan menghasilkan kesia-siaan.
Kesia-siaan itu bisa dihindari untuk mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Sebab, seruan itu diperkuat oleh kewajiban yang jika tak dilaksanakan oleh siswa akan diganjar dengan nilai yang buruk.
Sebetulnya ada strategi yang bisa dipakai oleh pemerintah untuk melawan kultur literasi instan itu.
Hal inilah yang kini dirintis Pemerintah Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dengan membangun perpustakaan di setiap desa, yang jumlahnya mencapai 330 desa.
Dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat itu antara lain dimanfaatkan untuk membangun perpustakaan desa.
Pilihan membangun perpustakaan desa agaknya sangat cocok untuk karakteristik wilayah Kabupaten Gresik, yang mungkin berbeda dengan kawasan lain, terutama di wilayah yang terpencil dan terbelakang.
Untuk desa-desa di kawasan luar Jawa misalnya, dana desa memang perlu dialokasikan untuk membangun infrastruktur, seperti irigasi, jembatan, dan jalan-jalan untuk memperlancar atau meningkatkan mobilitas warga desa dalam menggeliatkan perekonomian lokal.
Namun, untuk wilayah seperti Gresik, wilayah yang cukup tinggi pertumbuhan industrialisasinya, pemanfaat dana desa untuk mendirikan perpustakaan desa pantas diapresiasi.
Di era 80-an, perpustakaan Pemkab Gresik termasuk salah satu yang memiliki koleksi buku-buku bermutu dan menjadi sumber literasi yang bisa diandalkan oleh warga setempat.
Dengan gedung yang lokasinya strategis di kawasan alun-alun pusat kota, perpustakaan itu mudah diakses oleh warga yang mempunyai minat membaca buku-buku sastra berkualitas, seperti karya-karya Ernest Hemingway, Yukio Mishima, Yasunari Kawabata, Nikolai Gogol, Anton Chekov, Alexander Dumas, dan pengarang mancanegara hebat lain.
Untuk koleksi buku karya pengarang dalam negeri, pembaca bisa menikmati novel-novel Nh Dini, Nasjah Jamin, Mochtar Lubis, Trisno Yuwono, Armijn Pane.
Selain itu, buku-buku kumpulan puisi yang dihasilkan oleh Chairil Anwar, Ayip Rosidi, dan penyair angkatan 66, seperti WS Rendra, juga tersedia di tempat itu.
Beruntunglah mereka yang memanfaatkan perpustakaan Kabupaten Gresik saat itu, ketika harga buku terjangkau hanya oleh segelintir orang yang berkantong tebal.
Tampaknya, ada benang merah yang menyambungkan tradisi untuk menyediakan bacaan lewat perpustakaan publik di masa itu dengan pendirian perpustakaan desa yang dilakukan penguasa di Kabupaten Gresik saat ini.
Barangkali salah satu poin penting yang pantas diperhatikan oleh penanggung jawab atau pengambil keputusan di tingkat kabupaten adalah soal pemilihan buku-buku.
Jika dimungkinkan, Pemkab Gresik bisa menggunakan jasa konsultasi warga Gresik yang kini menjadi penyair tersohor di level nasional, seperti Mardi Luhung, yang berdomisili di Gresik.
Tak semua pejabat mempunyai selera yang bagus dalam memilih buku-buku yang berkualitas.
Dengan meminta masukan dari orang-orang yang berhasil menjadi tokoh sastra, koleksi perpustakaan akan terjamin kualitasnya.
Sebisa mungkin, koleksi buku-buku untuk perpustakaan desa yang didanai negara itu bukan tergolong buku yang berjenis sastra pop tetapi yang berjenis sastra serius.
Saat ini beberapa penerbit buku telah menerbitkan ulang karya-karya klasik dunia yang pantas diperkenalkan kepada pembaca generasi milenial.
Anggapan bahwa generasi milenial tak berminat pada sastra serius perlu dirontokkan dengan menciptakan iklim seperti menyediakan bacaan serius buat mereka lewat perpustakaan desa.
Ari Lasso, penyayi bersuara merdu, yang telah 25 tahun berkarier di blantika musik, membuktikan bahwa selera musik generasi milenial bisa dibentuk untuk menikmati komposisi musik berkualitas.
Ari membuktikannya dengan membina selera musik kedua anaknya yang termasuk generasi milenial, yang mengagumi beberapa lagu Beattles yang memang bermutu tinggi.
Dengan didirikannya ratusan perpustakaan desa di Kabupaten Gresik, diharapkan generasi milenial di kota pudak itu akan melembagakan selera sastra serius di dalam diri untuk mengimbangi selera literasi instan yang mengharu-biru jutaan anak-anak muda kelahiran tahun 2000-an.
Memang tak mudah melawan arus utama, namun dengan adanya sejumlah anak muda, betapapun sedikitnya, yang masih memperhatikan dunia sastra klasik yang begitu mempesona, agung, dan penuh kearifan klasik, optimisme akan lahirnya pemimpin masa depan yang berselera tak instan masih bisa dimekarkan.
Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017