Jakarta (Antara) -- Perkembangan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) pengganti bensin sulit diharapkan karena tidak adanya subsidi BBN dalam RAPBN 2018 sebagaimana keputusan Rapat Kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dengan Komisi VII DPR RI pada 11 Oktober 2017.


Pemerhati Energi Baru Terbarukan dari Universitas Proklamasi 45, M. Sigit Cahyono, mengungkapkan, pencabutan subsidi akan mematikan industri bioetanol sebab dibutuhkan untuk menutup biaya pokok produksi (BPP) yang lebih tinggi daripada Pertamax.


Tanpa subsidi, operator tidak akan mau mencampur bioetanol dengan produk mereka karena akan merugi. Tentunya, hal ini bertolak belakang dengan target pemerintah untuk melakukan mandatory penggunaan bioetanol ke dalam bensin sebanyak 0,24 juta kiloliter tahun ini, sebagaimana Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang telah disahkan Presiden Jokowi.



"Bagaimana mungkin target itu terwujud, jika industri bioetanol tidak diberi kesempatan berkembang. Padahal potensi bahan baku sangat besar, seperti tetes tebu (molases), aren, nipah, singkong, sampai bioetanol generasi ketiga dari alga. Jika pemerintah serius, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengikuti jejak Brasil dan Thailand yang sukses mengembangkan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif," jelas penulis buku "Biofuel, Energi Alternatif Masa Depan" ini.


Dampak lainnya, semangat para peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan bioetanol akan menurun. Lebih buruk lagi, investor akan memilih menutup pabriknya di Indonesia yang berakibat penurunan pendapatan negara serta lapangan kerja dalam jumlah besar.


"Padahal jika kita mau berkorban sedikit saja dengan mengeluarkan subsidi, akan dihasilkan benefit yang cukup besar di masa depan. Apalagi tren kenaikan harga minyak dunia saat ini, bisa meningkatkan harga BBM yang otomatis akan memperkecil margin BPP Bioetanol dengan bensin, sehingga subsidi akan lebih menarik investor untuk mau berinvestasi lagi.


Untuk menurunkan porsi minyak dalam bauran energi nasional, kata Sigit, peran Energi Baru Terbaruakan (EBT) termasuk bioetanol yang potensinya besar perlu dipercepat. Terlebih Pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 25 persen pada tahun 2025, berbagai upaya terobosan harus ditingkatkan baik yang berskala besar maupun skala kecil.


Sementara itu, Kementerian ESDM menetapkan kuota pengadaan biodiesel bersubsidi periode November 2017 hingga April 2018 sebesar 1.407.778 kiloliter (kl).


Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mengungkapkan penentuan alokasi tersebut dengan asumsi campuran biodiesel dalam solar tetap sebesar 20%. Biodiesel ini hanya diberikan nuntuk solar bersubsidi dan pembangkit listrik. "Jumlah alokasi biodiesel bersubsidi jadi 1.407.778, bertambah 30.030 kl dibanding periode sebelumnya," ujar Rida di Jakarta, Selasa (24/1)).


Kenaikan alokasi biodiesel bersubsidi, kata Rida, berdasarkan hasil analisis data konsumsi sebelumnya dan perkiraan konsumsi untuk ke depannya. Dari jumlah pengadaan biodoesel sebesar 1.407.778 kl terdiri dari 1.383.778 kl untuk Pertamina dan AKR Corporindo sebanyak 24.000 kl.


Rida mengatakan, nantinya akan ada penambahan jumlah penyalur biodiesel dari awalnya 19 perusahaan menjadi 20 perusahaan. Adapun tambahan satu perusahaan tersebut adalah PT Sukajadi Sawit Mekar.


Untuk, 19 perusahaan lainnya masih sama seperti periode sebelumnya yaitu PT Musim Mas, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bayas Biofuels, PT Cemerlang Energi Perkasa, PT LDC Indonesia , PT Intibenua Perkasatama, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT SMART Tbk. Lalu PT Tunas Baru Lampung, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinarmas Bio Energy, PT Kutai Refinery, PT Dabi Biofuels, PT Batara Elok Semesta Terpadu , PT Darmex Biofuels, PT Ciliandra Perkasa, PT Pelita Agung Agrindustri, dan PT Energi Baharu Lestari.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017