Jakarta (ANTARA News) - Seorang dara melenggokkan tubuh untuk mengikuti rentetan nada yang dibalut syair menggoda pemirsa, sementara pria muda berkostum hitam menyerupai kucing mengelilingi dirinya. Keduanya tampil di sebuah stasiun televisi swasta ketika membawakan tembang berjudul "Kucing Garong". "Syuit...syuit," demikian salah satu reaksi spontan dari pemirsa televisi, baik yang berada di rumah maupun di lokasi. Di bawah teror syair lagu itu, dara penyanyi melantunkan beberapa tingkah laku seekor kucing garong. Salah satunya dikatakan bahwa kucing itu mengendap bersiap menerkam mangsanya. Tinggal sekarang menunggu kesempatan dalam kesempitan. Kucing garong, dua kata yang melukiskan perilaku memuja libido rasa nikmat, menghindari rasa sakit. Kucing garong menggambarkan upaya memaksimalkan kenikmatan, menjauhi penderitaan. Kedua emosi pribadi ini kemudian dibalut dalam aksi kucing garong yang memfungsikan misai yang terjulur ke bawah sebagai radar penciuman bagi mangsa di sekelilingnya. Mengapa perilaku kucing garong diangkat? Kalau saja pengalaman kucing garong begitu mengendap dalam perilaku sebagian orang maka ada "sesuatu" yang ingin ditampilkan dari syair lagu dangdut itu. Sebagaimana layaknya kucing melihat santapan lezat yang mengundang selera, maka pengalaman yang disaksikan atau dirasakan oleh publik begitu mempengaruhi perilaku. Terbitnya air liur kucing garong akan mengundang syahwat untuk segera memangsanya. Habis santap, habis perkara, demikian kredo kucing garong. Ada seperangkat nilai yang menggerakkan mentalitas kucing garong, salah satunya kebugaran dan kesehatan tubuh. Bagaimana kalau kucing garong sedang sakit, tentu seleranya anjlok meski santapan di depannya sudah tersedia menggoda. Nilai berikutnya, pengakuan sosial atau kehormatan. Berapa banyak dan dari jenis apa mangsa yang pernah dilahap konon menentukan kasta kucing garong. Kalau yang dilahap recehan, maka derajatnya masih rendahan. Sebaliknya, jika incaran kucing garong berkapasitas "megabyte", maka luar biasa denyut pengaruhnya. Metafora kucing garong bukan isapan jempol atau dongeng pengantar sebelum tidur. Dia mirip hadir dalam perbendaharaan filsafat politik yang diperkenalkan oleh John Locke. Kalau Locke membayangkan keadaan asali manusia bukanlah sebagai keadaan perang, melainkan sebagai sebuah taman firdaus. Manusia memiliki kebebasan dan kesamaan yang tidak boleh diperkosa oleh siapa pun. Apakah kucing garong dapat mengincar korbannya sewenang-wenang? Tidak bisa, karena ada lembaga pemerintah yang menjamin hak setiap orang, menjaga hak milik pribadi. Kalau ada pemerintah - dalam pengertian individu atau kolektif - yang merampas hak milik pribadi maka dapat dikatakan dia telah mempraktekkan perilaku kucing garong. Sebelum menangkap target, kucing garong mengelilingi korbannya lebih dulu. Dia akan berjingkrak, berputar dan berlari kecil. Setelah santapan disodorkan kepadanya, secepat kilat kucing garong menerkam. Reaksi pertama yang ditunjukkan kepada penoton: Veni (aku datang), dan vici (aku menang). Apakah perilaku kucing garong diperankan oleh pejabat negeri atau swasta, bahkan pedagang sekalipun? Modernisasi pasar tradisional yang diandalkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang seolah-olah dikesankan sebagai solusi, ternyata sekedar kamuflase. "Pembangunan dan modernisasi pasar tradisional sering dijadikan alasan untuk memperbaiki kesejahteraan. Padahal, kenyataan selama ini hanya memperkaya pengembang dan pemerintah yang terlibat dalam kerja sama," kata Ketua Federasi Pedagang Pasar Tradisional Jakarta Sujianto dalam unjuk rasa di depan pagar Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Kamis (7/6). Sementara Wakil Ketua Federasi Pedagang Pasar Tradisional Jakarta Sutomo menambahkan, ketika pasar tradisional terkena jilatan si jago merah, yang terjadi kemudian adalah proses pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan pedagang. "Pasar tradisional terhimpit, pengusaha bermodal besar makin berjaya. Pemerintah menutup mata. Pejabat berselingkuh dengan pengusaha. Mengapa Sutiyoso membiarkan ini semua?" tanya Sutomo berapi-api. Sutomo kemudian memberi contoh, betapa modernisasi pasar modern tak memihak ke pedagang tradisional. "Harga kios di pasar tradisional selayaknya dijual Rp6 juta-Rp 10 juta per meter persegi. Tetapi, kenyataannya di Pasar Tanah Abang harga kios 2 m x 2m mencapai Rp175 juta hingga Rp350 juta per meter persegi. Di Blok M, harganya Rp16 juta-Rp60 juta per meter persegi. Bagaimana mungkin pedagang tradisional dapat membeli kios dengan harga mencekik itu?" katanya. Reaksi Gubernur Jakarta? "Berapa orang jumlah mereka? Saya sudah kenyang didemo seperti itu," kata Sutiyoso. Bahkan, di dunia pendidikan ada yang menggelikan ketika seorang walikota mau merampas kemerdekaan murid dan orangtua siswa, dan merenggut "hak milik pribadi". Apakah memang walikota memiliki kewenangan memaksakan kehendak siswanya untuk memakai seragam sekolah. Ada atau tidak ada peraturan yang menggariskan ketentuan itu, "sikap tegas" walikota ini merujuk kemudian mengundang pada mentalitas asal legal-formal. Walikota ini merasa berhak mendefinisikan baik atau buruk perilaku berseragam siswa sekolah. Ini bermula dari imbauan Wali Kota Tangerang Wahidin Halim kepada pelajar sekolah menengah pertama serta sekolah menengah atas dan sederajat agar memakai seragam sekolah berupa rok panjang atau celana panjang. Anehnya, ketika ditanya jika ada pelajar atau sekolah yang tidak menerapkan imbauan tersebut, Wahidin mengatakan, hal itu tidak menjadi masalah. Imbauan itu dikemukakan Wahidin pada Selasa (5/6). Menurut dia, imbauan itu tak ada maksud apa-apa selain karena melihat pertumbuhan tulang anak-anak sekarang sangat pesat. Dengan nada bercanda, Wali Kota menyatakan, anak sekarang sudah memiliki bulu panjang-panjang sehingga kurang tepat jika memakai rok atau celana pendek. "Tak ada misi tertentu dan tak ada hubungannya dengan agama, tetapi semata-mata untuk ketertiban," ujar Wahidin. Padahal, warga setempat agaknya sudah mengendus perilaku mencari untung, mengejar nikmat seperti diperankan dalam kucing garong. Ada warga yang menyatakan aturan tersebut menambah pengeluaran orangtua karena harus membeli kain seragam lebih panjang. Sementara sebagian warga Kota Tangerang dilanda kesulitan ekonomi. Untuk memberi uang bekal sekolah saja kadang mengutang sana-sini. Warga menginginkan sekolah menentukan seragam masing-masing sebatas masih sopan. Bagaimana keluar dari ancaman kucing garong? Melancarkan "Glorious Revolution". Dalam perjalanan hidupnya, Locke berpihak pada pemberontakan borjuasi melawan pemerintahan absolut. Kalau gagasan-gagasan Locke menyebar dan menyusup ke dalam liberalisme, maka Inggris dan Amerika Serikat memujanya sebagai guru yang sah dan terpercaya. Apakah kerakusan modal ketika berhadapan dengan pasar tradisional dalam konteks DKI Jakarta dan keharusan wali Kota Tangerang dalam "menyeragamkan" anak-anak sekolah justru mengundang "Glorious Revolution"? Kalau perjalanan politik Orde Baru memerankan pola peniruan perlaku kucing garong, maka nilai yang dijunjung yakni mengejar rasa nikmat, memuja libido sesaat. Belajarlah dari kegagalan John Locke ketika berhadapan dengan kritik George Berkeley yang hidup sampai paruh pertama abad ke-18. Adanya segala sesuatu yang terbalut dalam pengalaman keseharaian terpulang pada kesan-kesan yang dipersepsi subjek. Subjek menguasai rasa nikmat, bukan justru sebaliknya, rasa nikmat mendaulat subjek.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007