Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta memperhatikan kuota taksi daring yang menjadi salah satu komponen yang masih digodok dalam penyusunan peraturan baru terkait angkutan sewa khusus menggantikan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaran Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Pengamat Transportasi Universitas Katholik Soegijapranata Semarang Djoko Setidjowarno saat dihubungi di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa kuota bisa menjadi salah satu sumber masalah apabila tidak dipikirkan dari sekarang.
Pasalnya, lanjut dia, sudah banyak masyarakat yang menjadi sopir taksi daring di daerah-daerah.
"Di daerah sudah banyak telanjur yang menjadi pengusaha taksi online, padahal jika kuotanya kurang dari yang ada sekarang bisa jadi masalah," katanya.
Menurut Djoko, ditambah dengan wacana pembatasan kuota guna menjaga persaingan usaha yang sehat.
Dia mengimbau sebaiknya masyarakat tidak mudah tergiur mendapat tawaran untuk menjadi sopir taksi daring tanpa memikirkan risiko, seperti ketidakmampuan untuk melunasi kredit mobil.
"Sudah ada beberapa kejadian, mobil ditarik diler atau perusahaan leasing karena tidak sanggup bayar angsuran," katanya.
Dia menambahkan hal lain yang menjadi sorotan hal itu untuk unsur kesetaraan agar bisnis taksi resmi masih tetap berlangsung dan taksi aplikasi juga mendapat tempat berbisnis.
Djoko menjelaskan besaran tarif memang harus diatur, yakni batasan tarif batas atas untuk melindungi konsumen, sedangkan tarif batas bawah untuk keberlangsungan usaha, sehingga pengemudi yang merangkap pebisnis taksi aplikasi mendapat keuntungan yang wajar.
"Tarif murah merugikan pengemudi tidak bisa menutupi biaya operasional," ujarnya.
Sementara itu, sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Hindro Surahmat mengatakan pada 1 November 2017 peraturan tersebut sudah mulai berlaku.
"1 November harus bisa," ujarnya.
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017