Jakarta (ANTARA News) - Peneliti lembaga kajian internet ID Institute Salahuddien melihat adanya kerancuan definisi mengenai penapisan di tengah masyarakat saat ini.


"Orang sering mengeneralisir yang dilakukan Indonesia adalah sensorship seperti jaman orde baru. Sensorship adalah upaya untuk mengintervensi konten atau dimodifikasi sesuai selera oleh orang yang punya wewenang," ujar Salahuddien dalam acara "Internet Baik" di Jakarta, Jumat.


"Padahal, Indonesia bebas sensor, konten apa saja bisa muncul, orang mau nulis apa saja bisa muncul. Orang bebas menyampaikan pendapatnya," sambung dia.


Selain itu, menurut Salahuddien, adanya kekhawatian di tengah masyarakat bahwa pemerintah akan melakukan penyadapan seperti memasang cctv di internet untuk mengetahui sesuatu yang tidak normal yang biasanya terkait dengan tindak kejahatan.


"Di Indonesia tidak ada langkah penyadapan. Apa yang dilakukan di Indonesia? Penapisan konten mencegah agar pengguna tidak masuk ke konten yang tidak dikehendaki atau dilarang oleh negara," kata dia.


Menurut Salahuddien, penapisan internet telah dilakukan semua negara, termasuk negara maju yang demokratis pada dasarnya selalu juga menerapkan regulasi konten.


"Di Indonesia sudah selangkah lebih maju karena kita sudah mempunyai UU Pasal 40 ayat 2a dan 2b yang mencegah penyebaran konten negatif," ujar dia.


Penapisan, menurut Salahuddien, dilakukan untuk melindungi risiko para pemula yang belum menyadari bahaya dan ancaman di internet. "Misalnya, orang tua yang belum tahu konten hoax atau situs abal-abal undian berhadiah," kata dia.


Tidak hanya itu, penapisan juga dilakukan untuk melindungi anak yang belum mempunyai kemampuan memilah konten dan mereka yang kecanduan game atau porno. Lebih dari itu, dapat mengakses internet secara aman dan nyaman merupakan hak masyarakat.


Dalam kesempatan yang sama, praktisi internet ID Institute Irwin Day menjelaskan bahwa terdapat tiga macam teknologi penapisan.


Pertama, penapisan dengan proxy, yang menurut Irwin paling awam diketahui. Cara kerja teknologi tersebut adalah konten dari internet akan melewati sebuah mesin proxy kemudian ke pengguna.


"Data base semua yang mesti difilter masuk ke data base semua di mesin apa sudah sesuai dengan data base yang diberikan," kata Irwin.


"Sayangnya hanya cocok untuk jaringan kecil ukuran sekolah atau kantor karena ini sangat memerlukn kemampuan prosesing. Tidak pernah disarankan untuk sekelas carrier, tapi kelas rumahan boleh," sambung dia.


Kedua, penapisan dengan DNS. Cara kerja teknologi penapisan ini adalah konten yang diakses ke internet "meminta ijin" ke mesin apakah alamat telah tersimpan di data base. Jika sudah, konten akan dikembalikan ke user dan user dapat mengakses konten tersebut.


Terakhir, teknologi penapisan DPI. Teknologi tersebut seperti memiliki dua kaki di mana satu kaki ke pengguna dan satunya lagi ke mesin analitik.


Di mesin ini akan dimasukkan semacam sidik jari, sehingga meski url berubah tetap dapat dideteksi asalkan konten sama. Awalnya pengguna akan dapat mengakses konten, namun jika konten itu ternyata negatif akses kedua kali akan diblokir.


"Penapisan internet itu penting karena itu memberikan batasan yang boleh dan tidak, seperti lampu merah, kita diajarkan merah berhenti hijau berjalan, kita diberitahu mana yang boleh dan mana yang tidak," ujar Irwin.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017