Jakarta (ANTARA News) - Isu pribumi yang bergulir kencang belakangan ini dinilai tidak berefek pada penurunan citra personal Anies Baswedan sebagai gubernur yang baru dilantik, kata peneliti senior LSI Network Denny JA, Toto Izul Fatah.
Toto menyampaikan hal itu di Jakarta, Jumat, menanggapi pro kontra seputar pidato Anies Baswedan saat pelantikannya sebagai gubernur DKI Jakarta di Istana Negara beberapa waktu lalu.
"Saya menduga, jika dilakukan survei hari ini, elektabilitas Anies makin meroket. Yang mendukung dan simpati kepada Anies akan lebih banyak ketimbang yang menolak," katanya dalam keterangan persnya.
Menurut Toto, jika upaya melaporkan Anies ke polisi itu bermuatan politik untuk merusak citra Anies, cara seperti itu dinilai salah, tidak cerdas, tidak tepat dan tidak strategis. Sebab, dengan menggulirkan isu tersebut, baik melalui proses hukum maupun demo, justru akan membuat image personal Anies makin meningkat.
Dia berpendapat, dari perspektif komunikasi publik, Toto menilai sangat tidak cerdas apa yang dilakukan lawan politik Anies itu.
"Salah besar jika ingin merusak citra Anies dengan manuver seperti itu. Sebab, isu pribumi itu sebenarnya bisa lebih seksi dari isu PKI. Kalau ini terus digulirkan, justru Anies yang akan menuai keuntungan politiknya. Atau, jangan-jangan, isu pribumi ini sengaja digulirkan Anies untuk tujuan itu, memancing reaksi lawan, dan ketika lawan bereaksi alias terpancing, Anies menuai dukungan dari isu itu. Ini artinya, Anies lebih cerdas dibanding lawan politiknya," ujarnya.
Ketika ditanya alasan yang membuat isu pribumi ini lebih kuat ketimbang isu PKI, Toto berpendapat, isu pribumi memiliki masa kadaluarsa yang sangat panjang mengingat sampai saat ini masih menjadi bagian dari realitas politik dan sosiologis bangsa Indonesia, bahkan dunia.
Karena itu, lanjut Toto, dalam melihat dan menyikapi pro kontra isu pribumi ini tidak perlu dengan kepala panas. Tinggal, dari sisi mana melihatnya. Yang penting, isu itu bergulir dalam koridor sosial yang wajar, tidak merembet pada aksi sosial yang anarkis.
Dalam pandangan Direktur Citra Komunikasi LSI Denny JA itu bahwa siapa saja boleh mengganggap dirinya pribumi sepanjang orang tersebut cinta tanah air, pro NKRI dan setia kepada Pancasila. Dengan begitu, ada pribumi yang Sunda, Jawa, Tionghoa, Arab, Papua dan seterusnya.
"So, apa yang salah dengan sebutan pribumi. Toh, selama ini juga kita tidak mempersoalkan adanya Bank Boemi Putra yang berarti pribumi. Betgitu juga HIPMI, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia," katanya
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017