Jakarta (Antara) - Jika tak ada aral melintang, hampir bisa dipastikan Telkomsel akan menjadi pemenang lelang frekuensi radio 2.3 GHz dengan harga harga Rp 1,007 triliun. Jika pekan ini pemerintah sudah mengeluarkan surat penetapan pemenang lelang, maka Telkomsel sudah dapat segera memanfaatkan frekuensi radio 2.3 GHz. Namun sebagian pihak menilai harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang harus dibayarkan oleh Telkomsel terbilang mahal. Lalu bagaimanakah sebenarnya harga frekuensi radio 2.3 GHz di mata pengamat ekonomi?

Kahlil Rowter, Pengamat Ekonomi dan Chief Economist dari Danareksa menilai, harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang dimenangkan oleh Telkomsel terbilang wajar dan relative murah. Pengamat ekonomi ini menilai kebutuhan akan frekuensi radio bagi perusahaan telekomunikasi sangatlah besar. Terlebih lagi frekuensi yang dilelang oleh Kominfo merupakan sumberdaya terbatas dan kanal terakhir yang terasedia di frekuensi radio 2.3 GHz. Kahlil optimis dengan menggeluarkan dana Rp 1 triliun untuk mendapatkan 30 Mhz frekuensi radio 2.3 GHz, maka potensi pendapatan Telkomsel dikemudian hari akan mengingkat.

“Saya optimis mungkin dalam waktu beberapa tahun saja Telkomsel sudah dapat balik modal. Sehingga masih masuk akal harga lelang yang dimenangkan oleh Telkomsel. Jika dihitung secara cermat maka biaya frekuensi yang dikeluarkan oleh Telkomsel tidak lebih dari 10% pendapatannya. Hingga saat ini frekuensi di Indonesia masih terbilang murah dan tak akan membebani konsumen,” terang Kahlil.

Analisa Kahlil tadi bukanlah tanpa dasar. Jika merujuk laporan keuangan Telkom di tahun 2016, disebutkan kepemilikan frekuensi Telkomsel hanya 52.5 Mhz. Pendapatan yang bisa dibukukan dari frekuensi tersebut mencapai Rp 86,7 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 28,1 triliun. Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar frekuensi di tahun 2016 mencapai Rp 3,6 triliun atau setara dengan Rp 0.07 per Mhz. Sedangkan harga frekuensi 2.3 Ghz adalah Rp1,007 triliun untuk 30 Mhz atau setara dengan Rp 0.033 per Mhz.

Setali tiga uang Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB juga menilai harga frekuensi yang dimenangkan oleh Telkomsel masih lebih murah jika dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara maupun Asean. “Bahkan harga yang mereka bayarkan bisa lima kali lebih mahal dibandingkan harga frekuensi yang dilelang di Indonesia,” ujar Ridwan.

Karena murahnya harga frekuensi di Indonesia, Kahlil meminta kepada Kominfo agar mengikat para operator telekomunikasi dengan komitment pembangunan minimal 10 tahun. Sehingga pemerintah harus bisa memastikan yang akan memenangkan lelang frekuensi bukanlah broker. Tetapi perusahaan yang benar-benar ingin mengembangkan usaha telekomunikasi di Indonesia.

“Jika dikelola dengan baik maka frekuensi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, negara dan perusahaan telekomunikasi. Namun jika niatnya hanya untuk dijual kembali maka bisa dipastikan mereka akan mengalami kerugian. Sehingga harus bisa dipastikan perusahaan yang memenangkan lelang frekuensi harus memiliki perencanaan minimal 10 tahun ke depan. Saya berharap lelang frekuensi 2.1 Ghz mendatang juga bisa memberikan harga yang terbaik bagi negara,” ujar Kahlil.

Pewarta: Melanius P.K.
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017