Brussels (ANTARA News) - Para pemimpin Uni Eropa berusaha meminimalisasi krisis Spanyol-Catalonia dengan menghindarkan diri mendukung separatisme Catalonia yang alih-alih menyebut pemisahan diri Catalonia itu sebagai masalah dalam negeri Spanyol untuk kemudian menolak menjadi penengah.

Para diplomat Uni Eropa menyebutkan, para pemimpin Uni Eropa tak mau membahas permohonan pemisahan diri Catalonia dari Spanyol dan menyatakan tak ada untungnya melawan Spanyol yang lagi marah.

"Itu bukan agenda kami," kata Presiden Dewan Eropa Donald Tusk kepada wartawan dalam KTT Uni Eropa. "Kami semua punya emosi, pandangan dan penaksiran sendiri-sendiri, tetapi berbicara resmi mengenai hal itu tidak ada ruang untuk intervensi Uni Eropa."

Pendekatan ini sangat bertolak belakang dengan pendirian Uni Eropa terhadap hampir semua isu besar lainnya selama dekade terakhir, termasuk dalam krisis keuangan Yunani dan arus migrasi massal dari Suriah. Pada banyak kesempatan, para pemimpin Eropa kerap menggelar rapat sampai tengah malam untuk menghasilkan keputusan bersama atau pernyataan politik bersama.

"Itu masalah dalam negeri Spanyol," kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang diamini Presiden Prancis Emmanuel Macron yang malah menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy di sela KTT itu.

"Dia (Macron) menaruh kepercayaan penuh kepada Rajoy dalam menyelesaikan situasi itu," kata seorang diplomat Prancis kepada Reuters.

Pemerintah Spanyol akan menangguhkan otonomi Catalonia untuk kemudian langsung memerintahnya setelah pemimpin daerah ini mengancam jalan terus untuk mendeklarasikan kemedekaan jika Madrid menolak berunding.

Rajoy terus low profile pada KTT itu ketika sejawat-sejawatnya sesama pemimpin Uni Eropa menggelar konferensi pers Kamis waktu setempat. Kanselir Jerman Angela Merkel mengharapkan ada solusi yang didasarkan pada landasan konstitusional Spanyol.

Kendati beberapa pihak diam menyangkut cara Rajoy menangani referendum kemerdekaan Catalan 1 Oktober yang disebut Madrid ilegal dan menerjunkan polisi ke situs pemilihan yang ricuh, negara-negara Uni Eropa enggan mengeluarkan komentar apa-apa karena khawatir malah memicu aksi separatisme di dalam negeri mereka.

Dari Skotlandia sampai Flanders dan Lombardy, krisis keuangan 2007-2009, pengangguran dan migrasi telah mendorong kaum separatis, kaum anti-Uni Eropa, dan kaum populis memetik untung dari ketidakpuasan terhadap elite politik dan membuka kembali sentimen pemisahan daerah.

Saat Inggris merundingkan keluarnya mereka dari Uni Eropa, banyak pemimpin Uni Eropa tak mau mengalami pengalaman seperti dialami Inggris terlibat dalam negosiasi-negosiasi rumit yang membawa ke ketidakmenentuan ekonomi dan kekacauan hukum.

Negara-negara kecil seperti Slovenia yang menjadi negara merdeka setelah akhir Perang Dunia juga merasa tidak nyaman atas menjamurnya separatisme di Eropa.

Mereka mengandalkan Spanyol, yang merupakan bagian luas dari zona ekonomi Eropa, sebagai tempat investasi mereka.

Bahkan di negara-negara Balkan Barat yang ingin bergabung dengan Uni Eropa ada keengganan yang luas untuk menyampaikan seruan luas bagi pemberian otonomi ke beberapa wilayah di dalam negeri mereka. Spanyol adalah salah satu lima negara Uni Eropa yang mengakui kemerdekaan Kosovo.

"Tak banyak keuntungan yang didapat dari mendukung Barcelona, sebaliknya banyak sekali kerugian yang didapat dari Madrid yang marah," kata seorang diplomat senior Uni Eropa pada KTT Uni Eropa seperti dikutip Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017