Jakarta (ANTARA News) - Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak boleh lagi menggunakan aset yang diberikan oleh negara untuk berbisnis, sesuai ketentuan UU No34/2004 tentang TNI yang melarang institusi pertahanan itu menjalankan bisnis.
"Selama ini banyak aset negara yang diberikan negara seperti lapangan sepakbola, atau arena olahraga lainnya yang `diobyekkan` kepada publik dengan memungut biaya," kata pengamat militer Agus Widjojo dalam peluncuran buku "Menggusur Bisnis Militer" di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, negara memberikan segala fasilitas seperti arena olahraga secara gratis untuk membentuk fisik yang kuat bagi para prajurit. "Jadi, tidak adil, jika kemudian aset negara yang diberikan secara cuma-cuma itu kemudian `diobyekkan` kepada masyarakat yang ingin menggunakan fasilitas itu dengan membayar," tuturnya.
Selain tidak sesuai etika, tambah Agus, praktik itu juga telah menjeremuskan TNI dalam sebuah kegiatan yang berorientasi mencari keuntungan dalam bentuk finansial.
"Kalau pun ingin `berbagi` dengan masyarakat, maka mereka tidak perlu dipungut biaya dengan alasan apapun termasuk alasan kesejahteraan prajurit," ujarnya, menambahkan.
Agus mengatakan, penggunaan aset negara oleh TNI untuk mencari keuntungan juga berdampak bagi terbentuknya kultur persaingan bisnis yang tidak sehat seperti tidak adanya transparansi dan
good governance.
"Karena itu, ke depan aset negara yang diberikan TNI benar-benar adalah aset yang mendukung pertahanan negara dan tidak boleh dibisniskan kepada publik," ujarnya, menegaskan.
Pada kesempatan yang sama pengamat politik CSIS Edy Prasetyono mengatakan, penuntasan bisnis TNI harus benar-benar menjadi kepedulian semua pihak termasuk pemerintah, untuk dapat memberikan tingkat kesejahteraan prajurit yang memadai.
"Selain itu, TNI juga harus berani untuk melakukan reformasi internal secara lebih berani dalam restrukturisasi di tubuh TNI. Karena alokasi anggaran yang diberikan tidak akan pernah cukup, antara lain karena panjangnya rantai birokrasi dalam penyusunan anggaran dan pengerahan personel untuk sebuah operasi," katanya.
Tidak itu saja, pengelolaan anggaran pertahanan juga harus sesuai strategi pertahanan yang matang. "Dengan segala perhitungan yang matang, maka anggaran yang disediakan untuk pertahanan akan efektif, dan kesejahteraan prajurit terjamin dan TNI tak perlu lagi berbisnis mencari tambahan," ujar Edy.
Pada kesempatan yang sama Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, hingga kini peraturan presiden tentang pengalihan bisnis TNI masih berada di tangan sekretaris negara.
"Kami masih menyamakan persepsi tentang apa itu bisnis TNI hingga perpres itu nanti tidak ada lagi dipersepsikan secara berbeda-beda," katanya.
Ia mengatakan, dari hasil kajian Tim Supervisi Pengalihan Bisnis TNI dari 1.500 unit bisnis di TNI hanya enam yang layak menjadi perseroan.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007