Bandarlampung (ANTARA News) - Bumi Ruwai Jurai berduka kehilangan salah satu putra terbaiknya sastrawan Provinsi Lampung Asaroeddin Malik Zulqornain (61) kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
Menurut informasi keluarganya, Asaroeddin yang dilahirkan di Jakarta pada 15 November 1956 ini, meninggal dunia pada Selasa (17/10), pukul 18.05 WIB.
Almarhum rencananya akan dikebumikan di TPU Sukamaju, Telukbetung Barat, Rabu (18/10). Jenazahnya akan diberangkatkan dari rumah duka di Jalan RE Martadinata, Sukamaju, Telukbetung Barat bakda Zuhur.
"Lampung kehilangan salah satu putra terbaiknya. Almarhum merupakan salah satu pioner dunia sastra Lampung. Kiprah dan jejaknya tak diragukan lagi. Almarhum pernah menjadi duta Lampung ke Malaka," ujar Hari Jayaningrat, koreografer yang juga Kasi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
Putra Lampung yang merupakan salah satu cucu pejuang Lampung Wan Abdul Rachman ini dikenal sebagai salah satu cerpenis produktif pada zamannya. Selain dikenal luas sebagai sastrawan, dia secara resmi menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Provinsi Lampung.
Kecintaan Asaroeddin pada dunia sastra bermula sejak dia duduk di bangku SMP. Karya-karya karangan sastrawan terkenal seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Iwan Simatupang, dan Asmaraman Kho Ping Hoo sudah mulai dibaca Asaroeddin. Sejak saat itulah, Asaroeddin mulai berhasrat untuk menjadi seorang penulis.
Ketika bersekolah di SMA Negeri Telukbetung hasrat menulisnya tersalurkan. Tulisan-tulisannya menghiasi majalah dinding sekolahnya.
Namun, karena sifatnya yang introvet dia tak menggunakan nama aslinya tetapi menggunakan nama samaran. Hal ini terbawa ketika Asaroeddin menulis di media massa. Dia menggunakan nama pena antara lain AM Zulqornain Ch, Asaroedin MZ, dan Amzuch yang merupakan singkatan dari namanya.
Pada awalnya, Asaroeddin menulis puisi, kemudian lebih intens menggeluti cerpen. Ratusan karya cerpen yang terlahir dari tangannya. Karyanya selain terserak dalam berbagai buku antologi bersama, karya-karya cerpen terpilihnya terkumpul dalam buku bertajuk: Semanda, yang diterbitkan Jung Foundation, Bandarlampung.
Asaroeddin Malik Zulqornain Ch sastrawan yang muncul tahun 80-an ini menulis secara autodidak. Cerpen bertajuk Nomor 289 untuk 5 Menit merupakan karya pertama yang dimuat di Harian Pelita pada 20 Oktober 1978.
Karya Asaroeddin Malik Zulqornain Ch berupa cerita pendek, cerita anak, puisi, artikel budaya, resensi puisi, esai, dan berbagai berita. Media massa Lampung dan luar Lampung yang pernah memuat karyanya, antara lain Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, Simponi, Swadesi, Minggu Merdeka, Berita Buana, Mutiara, Harmonis, Majalah Detektif Romantika, Senang, Humor, Bobo, Kharisma, Variasi, dan Nova.
Media daerah yang pernah menerbitkan karya-karyanya adalah Lampung Post, Radar Lampung, Lampung Ekspres, Sumatera Post, Trans Sumatera, dan Waspada (Medan).
Sastrawan eksentrik ini meskipun sudah menciptakan ratusan cerpen dan puluhan puisi yang dipublikasikannya, tetapi Asaroeddin ciptakan memilih tidak dikenal oleh redaktur media mana pun. "Penulis bukanlah sesuatu yang istimewa, karena yang dibutuhkan masyarakat karyanya, bukan orangnya," ujarnya suatu kali.
Pada tahun 1985, bersama Isbedy Stiawan ZS dan Riswanto Umar mendirikan Sanggar Cakrawala Ide Anak Muda (CIA) yang merupakan wadah sastra dan teater Bandarlampung. Akhirnya, Asaroeddin beserta Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, dan Isbedy Stiawan ZS melahirkan antologi puisi yang berjudul Nyanyian Tanah Putih pada tahun 1984 untuk membangkitkan semangat para sastrawan muda.
Bersama-sama seniman lampung lainnya, Asaroeddin turut membidani lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada 17 September 1993 dan menjadi Bendahara pada periode pertama.
Jabatan dewan pembina di lingkungan Dewan Kesenian Lampung membuat nama Asaroeddin Malik Zulqornain Ch tidak asing di telinga para penggiat sastra di Lampung. Pria yang dikenal juga dengan nama Amzuch ditunjuk oleh DKL untuk duduk sebagai Dewan Kehormatan periode 2005-2
Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017