Jakarta (Antara) -- Penyebarluasan informasi mengenai manfaat panas bumi di sekitar wilayah pemanfaatan panas bumi perlu dilakukan secara intensif. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Suryadharma di Jakarta, Senin (16/10).
Suryadharma mengatakan, jika masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang pemanfaatan panas bumi sebagai energi baru terbarukan (EBT) tentunya hal tersebut akan mempermudah pemerintah untuk mewujudkan target bauran EBT sebanyak 23 persen pada 2025 mendatang.
"Harus dipahami, pengaruh buruk panas bumi terhadap lingkungan sangat kecil. Ini merupakan teknologi yang ramah lingkungan," katanya.
Untuk itu, Suryadharma meminta agar masyarakat tidak khawatir dengan isu lingkungan akibat pembangunan PLTP. Sebab, pengembangan panas bumi tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
Peningkatan pemahaman mengenai panas bumi kepada masyarakat, lanjut Surya, harus dilakukan di berbagai tingkatan masyarakat melalui pendidikan di sekolah. "Kalau dibiarkan saja, akan kontraproduktif," tegasnya.
Senada dengan Suryadharma, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan panas bumi menghasilkan emisi yang sangat kecil.
Selain itu, dalam pengembangannya juga membutuhkan ruang eksplorasi yang sedikit. "Untuk pembangkit berkapasitas 110 mega watt (MW), hanya membutuhkan lahan sekitar 40 hektare," katanya.
Tak hanya itu saja, karakteristik panas bumi berbeda jauh dengan minyak bumi dan gas (migas). Migas biasanya terdapat di lapisan sedimen yang lemah dan memiliki tekanan tinggi. Sedangkan panas bumi, berada di lapisan batuan beku dan bertekanan kecil. "Kalau migas tekanannya bisa mencapai 120 bar, sedangkan panas bumi hanya sekitar 20 bar," tutup Yunus.
Pewarta: Andri Setyawan
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017