Jakarta (ANTARA News) - Indonesia hingga kini belum punya hukum yang mengatur dunia maya ber-Internet (cyberlaw), padahal penggunaan Internet untuk mendukung aktivitas bisnis dan pemerintahan semakin meluas demikian pula kejahatan ber-Internet (cybercrime). Pakar Teknologi Informasi Mas Wigrantoro mengatakan hal itu dalam bedah buku berjudul "Cyberlaw, Tidak Perlu Takut" yang ditulis oleh Merry Magdalena, Mas Wigrantoro, dan Roes Setiyadi di Jakarta, Senin. Sejauh ini, ujar Wigrantoro, kejahatan ber-Internet hanya diadili dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU terkait karena tak adanya regulasi tentang "cyber", sehingga sangat tergantung pada keberanian hakim dan keputusan yang bersifat bias. "RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang saat ini sedang digodok di DPR juga belum cukup disebut sebagai 'cyberlaw' karena 'cyberlaw' tak hanya mengatur masalah pengakuan hukum terhadap bukti atau transaksi elektronik," katanya. Industri perbankan yang mulai menerapkan transaksi elektronik (electronic banking/e-banking) dan pemindahan dana secara elektronik (electronic fund transfer) sebagai salah satu sasaran kejahatan "cyber" dengan potensi kerugian sangat besar, dinilainya, juga sangat minim dalam memberi dukungan pada persoalan "cybercrime" ini. Demikian pula sektor lembaga keuangan lainnya, seperti jasa asuransi, pembiayaan, bursa saham, komoditi, valas, dan berbagai sektor, layaknya perdagangan, perhubungan dan penyedia layanan publik lainnya yang kini semakin tergantung pada layanan komputer dan Internet. Kekurangpedulian itu, menurut dia, juga terjadi di kalangan politisi di parlemen dan birokrat yang menilai penggunaan Internet di Indonesia masih terlalu sedikit dan hanya didominasi orang kaya dan terpusat di perkotaan. Padahal menurut Wigrantoro, berbeda dengan kejahatan konvensional yang dampaknya mudah dilokalisir, pada "cybercrime" pelaku dan korban tak harus dalam dimensi waktu dan ruang yang sama sehingga sulit dilokalisir dengan nilai kerugian tidak terbatas pada nilai material. Sementara itu, anggota Unit Teknologi Informasi (TI) dan "Cybercrime" Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara RI (Bareskrim Mabes Polri), AKBP Gagas Nugraha, mengatakan bahwa sejauh ini dalam menangani kejahatan dunia "cyber", maka kepolisian menggunakan KUHP untuk kejahatan yang bersifat umum dan spesialisasi tergantung dari kejahatannya. "Kalau kejahatannya di perbankan kami pakai UU Perbankan, tergantung kejahatannya di bidang apa. Sejauh ini beberapa kasus 'cybercrime' yang sudah ditangani, misalnya 'cyber prostitution', 'cyber gambling', dan 'cyber corruption'," katanya. Soal aparat kepolisian yang sudah melek "cybercrime", menurut dia, sekitar 150 orang yang kebanyakan di Kepolisian Daerah Mertropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), dan akan terus bertambah karena pihaknya terus melakukan pelatihan sedikit-dikitnya dua kali per tahun. "Kami juga sedang membentuk sub-sub wilayah lain yang bisa menangani 'cybercrime'," katanya. Di forum yang sama, pakar hukum dari Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Edmon Makarim, mengingatkan bahwa jangan sampai pihak parlemen atau birokrat justru membuat UU tentang "cybercrime" yang ujung-ujungnya berupa kewajiban memiliki berbagai izin di dunia "cyber". (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007