Mataram (ANTARA News) - Fungsionaris DPP Partai Golkar, Syamsul Muarif, mengemukakan tidak ada kewajiban presiden untuk menghadiri sidang interpelasi yang dilaksanakan DPR. "Dalam tata tertib DPR sendiri mengatur bahwa presiden tidak wajib untuk hadir dalam sidang interpelasi," katanya, kepada wartawan di,sela-sela Musda SOKSI NTB di Mataram, Senin. Menurut dia, DPR telah berlebihan yang mengharuskan presiden menghadiri rapat interpelasi yang mereka selenggarakan. Seharusnya, para anggota DPR lebih dulu mendengar jawaban pemerintah, kalau jawabannya tidak cocok barulah di "follow up" dengan pernyataan dan pendapat. Ketika pernyataan dan pendapat tersebut tidak ditanggapi, DPR dapat mengajukan hak angket yang pada masa lalu bisa menjatuhkan seorang presiden dari jabatannya. Ketika pernyataan pendapat dan hak angket diajukan, sebenarnya pemerintahan yang sedang berlangsung sudah tidak dipercaya oleh DPR. "Jadi DPR tidak boleh bermain-main dengan interpelasi ataupun pernyataan pendapat, kalau ada perbedaan pendapat, mereka dapat memanggil menteri-menteri dan kalau tidak puas dengan jawaban menteri itu barulah diangkat lebih jauh," katanya. Dikatakan interpelasi sangatlah sederhana dari sisi subtansinya, karena negara-negara Arab sendiri tidak mendukung atau memberikan sokongan bagi Iran membangun reaktor nuklir. Bahkan tetangga-tetangga Iran sendiri sangat khawatir akan upaya pembangunan reaktor Nuklir yang dibangun Iran itu. Kalau hanya demi Iran dan solidaritas sesama negara Islam, Indonesia harus memberikan dukungan, maka Indonesia justru akan dimusuhi atau tidak disukai oleh berbagai negara Arab lainnya. "Jadi DPR tidak perlu memaksakan kehendaknya untuk menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudohyono dalam rapat pleno," katanya. Ditambahkannya kalau presiden mau hadir dalam rapat interpelasi lanjutan nanti, juga tidak ada masalah tergantung sepenuhnya kepada presiden. Pada kesempatan itu, Syamsul juga mempertanyakan "koalisi" yang selama ini terbangun karena tampaknya sangat jauh menyimpang. Di satu sisi, orang yang diajak dalam kabinet berarti koalisi, menteri-menteri SBY tersebut berasal dari partai-partai politik yang ada, artinya Presiden SBY membangun koalisi dengan partai-partai tersebut. Namun di sisi lain, ketika menteri yang berasal dari partai ini duduk dalam kabinet partainya sendiri ikut "menghantam", jadi koalisi macam apa yang terjadi itu karena tidak ada dalam teori. Fenomena demikian yang didasari oleh euforia politik, seharusnya sudah diakhiri dengan memperhatikan etika politik. "Sebenarnya hal itu sangat mudah dituntaskan, karena mereka dapat duduk satu meja, masing-masing panggil pimpinan partai dan ketua fraksi di DPR dan selesai," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007