Jakarta (ANTARA News) - "Geostorm" adalah film yang mengikuti jejak serangkaian film buatan Hollywood lainnya tentang bencana besar yang bakal menghancurkan planet Bumi beserta segala isinya, termasuk umat manusia.
Sebut saja sejumlah judul seperti "Armageddon" (1998), "Deep Impact" (1998), "The Day After Tomorrow" (2004), "2012" (2009), dan "San Andreas" (2015).
Sejak awal film "Geostorm", dituturkan narasi tentang gejala perubahan iklim yang telah membawa bencana alam yang maha besar dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa yang melayang di berbagai belahan dunia.
Hal tersebut membuat sebanyak 17 negara di berbagai belahan dunia lainnya memutuskan untuk bergabung bersama dan simsalabim, terciptalah sebuah alat teknologi canggih yang bisa mengontrol cuaca global.
Dengan alat mutakhir yang disebut sebagai "Dutch Boy" itu, kini umat manusia bisa menguasai cuaca (misalnya ada awan badai besar di atas sebuah kota besar, maka tinggal diluncurkanlah program dari "Dutch Boy" yang bisa membuat badai itu mereda).
Sosok yang memimpin berbagai orang jenius dan ahli teknologi dari berbagai negara di dunia untuk menciptakan "Dutch Boy" adalah seorang ilmuwan AS, Jake Lawson (diperankan oleh Gerald Butler).
Pada beberapa adegan pertama film diketahui bahwa Jake Lawson adalah orang yang tidak suka dengan tetek bengek birokrasi dan beberapa kali melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Dengan sejumlah kasus yang dideritanya akibat perilaku nonkonformisnya itu, Jake Lawson "disidang" oleh Senat Amerika dan diputuskan bahwa dirinya dipecat dan digantikan oleh sang adik kandungnya sendiri, Max Lawson (Jim Sturgess).
Namun, ternyata terjadi sebuah keanehan dalam pemrograman "Dutch Boy", yang mengakibatkan munculnya sejumlah tragedi seperti munculnya badai salju di tengah gurun pasir di negeri Afganistan, atau ledakan pipa gas di Hong Kong yang juga dipengaruhi oleh alat supercanggih itu.
Karena itu, pemerintahan AS memutuskan agar Max Lawson segera memanggil kembali sang kakak, Jake, untuk bisa menyelidiki sejumlah anomali tersebut.
Setelah bertahun-tahun dibebastugaskan, Jake akhirnya dapat terbang kembali ke "Dutch Boy" yang berada di luar angkasa, tepatnya di stasiun antariksa internasional.
Di dalam stasiun antariksa internasional tersebut, Jake dibantu oleh sejumlah orang dari beragam kebangsaan, yang dipimpin oleh Kepala Tim Teknisi, Ute Fassbinder (Alexandra Maria Lara), yang berasal dari Jerman.
Sedangkan sejumlah personil lainnya adalah Adisa (Adeporu Oduye) dari Nigeria, Duncan (Robert Sheehan) dari Inggris, Dussette (Amr Waked) dari Prancis, dan Hernandez (Eugenio Derbez) dari Meksiko.
Dalam aktivitas penyelidikan yang dipimpin oleh Jake, ternyata ditemukan sejumlah kejanggalan yang bahkan juga sempat membuat Jake hampir kehilangan nyawanya dalam proses investigasi.
Untuk itu, Jake kemudian memutuskan untuk melakukan penyelidikan secara rahasia dengan hanya mempercayai Ute, karena dirinya tidak mengetahui siapa yang bisa dipercaya.
Penguasa Iklim
"Geostorm" yang berdurasi 109 menit itu sebenarnya memiliki premis yang menarik, yaitu bagaimana bila masyarakat global memiliki sebuah alat canggih yang bisa digunakan untuk menguasai cuaca.
Teknologi tersebut, yang mungkin oleh sebagian ilmuwan menganggap hal itu sebagai utopia atau impian semata, terasa relevan misalnya dengan sejumlah bencana alam yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia, yang kerap dikaitkan dengan gejala perubahan iklim.
Tetapi sayangnya, film "Geostorm" seperti ingin mengikuti alur film-film aksi bencana yang telah ditampilkan oleh Hollywood sebelumnya, lebih berusaha untuk menampilan penampilan heroisme dari tokoh protagonis, yang dalam film ini ditunjukkan oleh kakak beradik Lawson, Jake dan Max.
Padahal, bila saja sang pembuat film mau lebih sabar dalam mendalami tema teknologi (yang tentu saja bisa dikupas dengan gaya populer yang tidak membosankan), barangkali akan membuat "Geostorm" menjadi lebih memiliki daya penceritaan yang membuat penonton lebih berpikir kritis, bukan hanya sekadar menonton film aksi belaka.
Gaya penceritaan film bencana, yang bisa mengupas teknologi sebagai bagian inti dari skenario, namun dengan penelaahan yang menggugah, dapat dicontohkan oleh film "Deepwater Horizon" (2016), yang menceritakan bencana di pengeboran minyak lepas pantai.
Mungkin saja gaya film "Geostorm" yang lebih menonjolkan aksi tersebut dapat diduga karena sang sutradara adalah Dean Devlin, yang sebelumnya merupakan penulis skenario sejumlah film seperti "Independence Day".
Flm "Independence Day", tentu saja merupakan sebuah contoh klasik dari film aksi-sains fiksi yang menampilkan heroisme umat manusia (tentu saja selayaknya film Hollywood, dengan dipimpin AS), dalam mengalahkan serangan mahkluk asing dan pesawat canggih mereka.
Selain itu, karakter dari para tokoh yang berada dalam film tersebut juga terasa tidak tergarap dengan baik, padahal setiap sosok dalam film sebenarnya memiliki potensi kisah latar belakang yang menarik untuk diceritakan. Tapi lagi-lagi Devlin memutuskan untuk mengedepankan aksi dibandingkan pendalaman karakter.
Padahal, sebuah film dengan tema bencana global seperti "Seeking a Friend for the End of the World" (2012), dapat menampilkan beberapa sosok dengan karakter yang mendalam dan menimbulkan simpati dari para penonton.
Film "Seeking a Friend for the End of the World" (2012) itu sendiri merupakan sebuah film drama komedi yang menampilkan seseorang yang mencari pasangan hidup untuk menemaninya di hari-hari terakhir bumi alias kiamat.
Mengapa "Geostorm" terjebak kepada stereotip film bencana Hollywood lainnya yang lebih mementingkan sisi kepahlawanan dibandingkan dengan penelaahan segi teknologi secara populer, atau pendalaman karakter dari para aktornya?
Barangkali hal itu karena film-film sains fiksi, dengan beban yang besar dari segi aksi, rata-rata bisa menghasilkan pemasukan yang besar dibandingkan dengan modal pembuatannya.
Ambil contoh "Armageddon" yang bisa meraup pemasukan hingga 553,7 juta dolar AS, "The Day After Tomorrow" meraih 544,3 juta dolar, "2012" meraup 769,7 juta dolar, dan "San Andreas" meraih 474 juta dolar AS.
Sementara film "Deepwater Horizon" ternyata "hanya" bisa meraup pemasukan 121,8 juta dolar AS, dan "Seeking a Friend for the End of the World" 9,6 juta dolar AS, meski kedua film tersebut memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan film-film yang telah disebut sebelumnya.
Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017