Jakarta (ANTARA News) - Kekecewaan dirasakan oleh Jaka (30), ketika pada Senin (21/5) melihat pengumuman di depan pintu masuk Planetarium Jakarta yang menginformasikan bahwa teropong bintang sedang rusak. Pengunjung yang ingin menyaksikan planetarium hanya dapat melihat tampilan benda-benda langit melalui "slide". Jaka yang juga membawa sejumlah orang sanak keluarganya, mencari tahu dengan bertanya ke pedagang sekitar dan mendapat jawaban bahwa teropong bintang yang menjadi "andalan" di Planetarium itu telah rusak selama berbulan-bulan. Hal yang sama juga dialami oleh Ayu (20) dan temannya. Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap menonton pertunjukkan citra ganda yang tampil melalui sejumlah "slide" tersebut. "Suaranya tidak begitu jelas. Rasanya juga seperti di ruang kelas SMA sewaktu mendapat mata pelajaran fisika," kata mahasiswa Universitas Indonesia itu, sesudah menyaksikan pertunjukkan citra ganda itu. Kejadian yang dialami oleh Jaka dan Ayu kemungkinan juga dialami oleh sejumlah orang yang berkunjung ke bangunan yang telah diresmikan sejak 10 November 1968 itu, sampai dengan akhir Mei 2007. Pertunjukkan teater bintang di Planetarium telah terhenti sejak 23 Januari 2007, karena terjadi kerusakan pada instrumen untuk pengoperasian pertunjukan ini. Namun, teknisi planetarium berhasil melakukan perbaikan sementara, sehingga pertunjukkan teater bintang bisa dinikmati kembali sejak 1 Juni 2007 sambil menanti perbaikan instalasi yang sebenarnya, kata Kepala Seksi Bagian Teknik Planetarium, Radjaja. "Alat yang rusak adalah 'hard disk' komputer yang digunakan untuk teater bintang, dan sudah berlangsung sejak 23 Januari 2007 sampai hari ini," katanya. Ia menyatakan alat yang sudah beroperasi sejak 1998 sampai sekarang ini rusak karena faktor usia, selain frekuensi penggunaannya yang terus-menerus akibat tidak adanya alat cadangan. Dalam sepekan disk komputer itu digunakan paling tidak empat kali dalam sehari. Sementara itu, Kepala Pemasaran dan Promosi Planetarium, Pathudin Mansyur mengemukakan bahwa untuk mengganti instrumen yang rusak memang harus mendapatkannya langsung dari pabrik pembuatnya, yaitu perusahaan Carl Zeiss dari Jerman. Menurut ensiklopedia Wikipedia, Zeiss adalah pabrikan Jerman pembuat lensa dan sistem optikal lainnya yang terletak di Oberkochen dengan anak perusahaan yang penting di Jena. Perusahaan ini dinamakan menurut nama pendirinya, ahli optik Carl Zeiss (1816-1888). Rencana "overhaul" Pathudin memaparkan, pihaknya telah mengirimkan faks kepada Zeiss berisi berbagai spesifikasi yang ingin diganti. Faks tersebut juga mengemukakan rencana "overhaul" (pemeriksaan seksama untuk perbaikan) yang dilaksanakan pada bulan Agustus. "Kami memilih Agustus karena pada masa awal tahun ajaran biasanya hampir tidak ada sekolah mengadakan tur ke Planetarium," katanya dan menambahkan, kemungkinan baru pada bulan tersebut pihak Zeiss membawa spesifikasi yang akan menggantikan instrumen yang rusak. Mengenai "overhaul", Pathudin mengaku bahwa pihaknya tidak bisa melakukan hal tersebut secara ideal yaitu selama satu atau dua tahun sekali karena alasan keterbatasan anggaran. "Kami sudah membuka kembali pertunjukkan teater bintang untuk perorangan mulai Jumat (1/6). Sebelumnya, kami juga telah mengujicobakan kepada rombongan pada bulan Mei," kata Pathudin. Menurut dia, pembukaan kembali pertunjukkan teater bintang bukanlah berarti bahwa instrumen yang rusak telah diganti, tetapi masih menggunakan peralatan yang telah diperbaiki oleh Tim Teknis Planetarium. Karena masih "rentannya" teropong bintang, Pathudin juga berharap warga dapat mengerti bila kemungkinan tidak ada pertunjukkan ekstra seperti yang biasanya terdapat pada masa liburan. Optimalkan fasilitas Di dalam Planetarium itu selain berisi pertunjukkan teater bintang dan pertunjukkan citra ganda, pengunjung juga dapat melihat beragam fasilitas publik lainnya seperti perpustakaan yang menghimpun beragam bahan tertulis mengenai astronomi. Namun, masyarakat ibukota masih belum optimal dalam menggunakan perpustakaan tersebut. Hal itu terindikasi dari minimnya jumlah pengunjung di perpustakaan yang telah dibuka sejak 1969 itu. "Biasanya jumlah pengunjung hanya sekitar lima orang per hari, yang pada umumnya hanya para pelajar dan mahasiswa," kata Pathudin. Menurut dia, masyarakat umum biasanya kurang tertarik kepada perpustakaan karena lebih berminat kepada kegiatan peneropongan bintang langsung seperti yang diselenggarakan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Pathudin mengemukakan bahwa HAAJ adalah wadah para penggemar astronomi yang resmi berdiri pada 1984 dan terdiri dari beragam latar belakang pendidikan, profesi, dan tingkatan umum. "Planetarium yang berperan dalam melahirkan HAAJ juga turut membina perkembangannya dan menganggapnya sebagai mitra kerja sama dalam mempopulerkan ilmu astronomi di Indonesia," katanya dan menambahkan, jumlah anggota HAAJ kini adalah sekitar 70 orang. Ia memaparkan, HAAJ menyelenggarakan aktivitas secara berkala dengan bimbingan pakar astronomi seperti pemutaran film ilmiah, diskusi, pameran, dan melakukan pengamatan benda langit. Selain itu, terdapat pula kegiatan insidental seperti pengamatan gerhana bulan dan matahari. Mengenai minimnya jumlah pengunjung perpustakaan di Planetarium, Pathudin menuturkan, hal tersebut juga terjadi karena masih minimnya jurusan atau departemen astronomi yang terdapat di universitas-universitas ibukota. "Biasanya mahasiswa yang datang berasal dari UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatulllah Jakarta dan UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Ini mungkin karena di dalam mata kuliahnya ada tentang ilmu falak (astronomi) dan juga cara pengajaran atau pendidikannya," ujar dia. Di dalam perpustakaan astronomi terdapat lebih dari 3.600 literatur baik dalam bentuk buku, majalah, dan bentuk penerbitan lainnya. Koleksi itu diperoleh melalui langganan majalah atau sumbangan dari beberapa kedutaan asing, katanya. Perpustakaan yang terbuka untuk umum pada jam kerja kantor itu, lanjut Pathudin, juga berisi hasil seminar astronomi dan karya ilmiah profesional lainnya, antara lain dari pihak Observatorium Bosscha Lembang, Jawa Barat. Kehadiran planetarium sebagai salah satu obyek wisata pendidikan di Jakarta mempunyai makna peting bagi masyarakat. Diperlukan pengelolaan yang lebih baik untuk memberikan layanan wisata yang lebih memuaskan bagi pengunjung, terutama mengingat jumlah planetarium di tanah air sejauh ini hanya ada dua dengan palnetarium Boscha di Lembang, Jawa Barat. (*)

Oleh Oleh Muhamad Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2007