Surabaya (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mencatat TNI-AL hanya memiliki hak pakai atas tanah sengketa di kawasan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Pasuruan.
"Warga di kawasan itu umumnya memiliki bukti petok D dan letter C yang dikeluarkan di bawah tahun 1960-an atau sebelum sertifikat berlaku pada tahun 1992," ujar direktur LBH Surabaya, M Syaiful Aris SH, kepada ANTARA, di Surabaya, Minggu.
Saat dikonfirmasi tentang sengketa tanah di kawasan Puslatpur Pasuruan yang masih diwarnai saling klaim, ia menjelaskan TNI-AL sendiri hanya memiliki hak pakai dari BPN Jatim pada tahun 1992.
"Jadi, TNI-AL tidak memiliki sertifikat, tapi hak pakai dari BPN Jatim, kemudian warga yang melawan disebut sebagai komunis. Stigma itu berlangsung dari tahun 1960-1992, sehingga pemberian hak pakai berlangsung dengan intimidasi," ucapnya.
Dengan bukti hak pakai itu, katanya, TNI-AL tidak dapat mengklaim tanah yang ada secara mutlak, melainkan mengacu kepada pasal 41 UU 5/1960 tentang Pokok Agraria.
"Artinya, hak pakai itu diberikan selama untuk keperluan tertentu, seperti untuk latihan tempur atau fungsi militer, sedangkan fungsi perkebunan tidak boleh, bahkan kalau dipakai perkebunan, maka hak pakai akan gugur," tegasnya.
Menurut dia, jika TNI-AL mengakui tanah sengketa di Grati dan sekitarnya itu sebagai hak milik, maka hal itu tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
"Kalau ada proses pembelian pada tahun 1960-an, maka harus ada berita acara pembelian tanah serta risalah pembelian itu, tapi semuanya tidak ada, bahkan tanah yang diklaim tak sesuai dengan survei tanah yang sebenarnya di lapangan," paparnya.
ANTARA mencatat Komandan Lantamal V Surabaya, Laksamana Pertama TNI Aminullah Syuhari mengungkapkan bahwa dasar hukum dan riwayat kepemilikan lahan Inventaris Kekayaan Negara (IKN) di Puslatpur Grati itu dibeli dengan dana APBN seluas 3.569,205 hektar.
Kepala Badan Penyaluran Tenaga Kerja TNI AL Wilayah Timur (Kabalurjaltim), Kolonel Laut M Haryono, juga merupakan saksi sejarah proses penjualan tanah tersebut juga memperkuat pernyataan Komandan Lantamal V.
Kolonel M. Haryono yang lahir dan dibesarkan di daerah Grati Pasuruan mengungkapkan bahwa penduduk setempat telah menjual tanah tersebut kepada TNI AL sekitar tahun 1960 senilai Rp77.658.210. Saat ini sekitar 36.000 jiwa warga telah menempati sekitar 150 hektare di lahan itu.
Namun, tanah tetap disengketakan dan perselisihan itu akhirnya menemukan jalan keluar saat Pangarmatim bertemu dengan Bupati Pasuruan, Jusbakir Al Jufri, di Pasuruan pada 22 Maret 2007 dengan menyatakan TNI AL bersedia merelokasi warga.
Pada kesepakatan itu, TNI AL memberikan lahan untuk masing-masing rumah, seluas 500 meter pesegi, sebagai relokasi, serta uang Rp10 juta per-orang, namun pelepasan lahan kepada 5.702 rumah itu akan diusulkan ke IKN. (*)
Copyright © ANTARA 2007