Nahr Al-Bared, Lebanon (ANTARA News) - Tiga tentara Lebanon tewas pada Sabtu saat terjadi bentrokan baru dengan kaum militan yang bersembunyi di penampungan pengungsi Palestina. Insiden itu terjadi ketika para perunding mengumumkan pengunduran waktu bagi usaha mengakhiri pengepungan yang sudah berlangsung 21 hari. "Tiga tentara kami tewas dan belasan lainnya cedera oleh para penembak jitu Fatah al- Islam," kata seorang juru bicara tentara. Jumlah yang meninggal dalam tiga pekan pertempuran antara kelompok militan dengan tentara Lebanon mencapai 112 orang, 51 diantaranya adalah tentara. Kerusuhan yang sedikit-dikitnya telah menyebabkan meledaknya delapan bom atau serangan granat, merupakan perselisihan intern Lebanon yang paling mematikan setelah perang saudara 1975-1990. Seorang komandan militer mengemukakan empat di antara tentara yang cedera berada dalam kondisi kritis. Dia mengatakan bahwa tentara Lebanon mendapat perlawanan ganas ketika mereka mencoba merebut posisi militan di pinggiran timurlaut kamp penampungan pengungsi Palestina itu. "Tentara kami berperang dari gedung demi gedung tapi merek mendapat perlawanan sengit dari para ekstrimis yang telah memasang jebakan di gedung-gedung," kata seorang komandan militer yang minta namanya tidak disebutkan. Juru bicara Fatah al-Islam, Shahine Shahine, mengatakan bahwa bombardir yang dilakukan oleh tentara Lebanon adalah untuk melindungi serangan terhadap posisi-posisi militan di pinggir penampungan pengungsi. "Serangan itu dipukul mundur," katanya. Para penengah mengemukakan, mereka mengalami kemunduran pada Jumat karena hanya bisa bertemu Shahine dan tidak ada pemimpin pucuk Fatah al-Islam. "Ada sesuatu dalam senioritas Fatah al-Islam," tutur anggota delegasi penengah, Syekh Fathi Yakan. "Pemimpin mereka tidak lagi dapat dijumpai. Kami hanya dapat menemui seorang pejabat yunior sedangkan pemimpin tertinggi mereka seperti Shaker Abssi sudah menghilang dan tidak berbicara." Perundingan yang berlangsung lama menghasilkan kesepakatan bahwa tentara tidak memasuki 12 kamp pengungsi Lebanon dan urusan keamanan diserahkan kepada militan Palestina. Namun, dalam siaran wawancara, Jumat, Perdana Menteri (PM) Fuad Siniora mengisyaratkan bahwa perjanjian itu mungkin terpaksa ditinjau ulang karena kelompok-kelompok arus utama Palestina tidak dapat menangani ancaman dari kaum militan. "Masuknya Fatah al-Islam ke kamp Nahr al-Bared menunjukkan kegagalan sistem otonomi keamanan bangsa Palestina," kata Siniora kepada stasiun televisi Prancis, France 24, seperti dilaporkan AFP. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007