Oleh A. Jafar M. SidikJakarta (ANTARA News) - Beberapa pekan setelah pemutaran film "The Last King of Scotland" yang mengantarkan aktor Forest Whitaker meraih Oscar, pada Februari 2007 pemerintah Inggris membuka arsip-arsip paling rahasia mereka kepada publik. Film yang mengisahkan hubungan akrab seorang dokter muda asal Scotlandia dengan diktator Uganda Idi Amin Dada ini ditutup oleh drama penyanderaan warga Israel oleh militan Palestina di Bandara Entebbe, Uganda. Dalam film campuran fiksi dan fakta ini, episode penyanderaan Entebbe hanya sebagai tempelan cerita pengakhir film, namun entah berhubungan dengan film itu atau tidak, pemerintah Inggris malah membeberkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi di Entebbe 31 tahun silam itu. Dalam dokumen sangat rahasia yang hanya boleh dibuka ke publik 30 tahun setelah peristiwa terjadi, pemerintah Inggris mengungkapkan, selain mendukung pembajakan Entebbe, Idi Amin juga ditengarai memerintahkan pembunuhan seorang warga Inggris sebagai pembalasan atas tewasnya 45 serdadu Uganda oleh satuan elit Angkatan Darat (AD) Israel, Sayeret Matkal. Sandera itu adalah wanita berusia 74 tahun bernama Dora Bloch yang merupakan salah seorang penumpang Air France yang dibajak militan Arab dan teroris sayap kiri Jerman sejak 27 Juni 1976 di Athena sampai 4 Juli 1976 di Entebbe, Uganda. Selama penyanderaan, Dora yang orang Yahudi namun berpaspor Inggris sakit-sakitan sehingga membutuhkan perawatan dokter. Si nenek lalu dirawat di satu rumah sakit di Kampala, Ibukota Uganda, sementara warga non Israel dan non Yahudi dipulangkan ke negara asal masing-masing. Sandera-sandera berkewarganegaraan Israel dan berkebangsaan Yahudi tetap ditahan pembajak di Bandara Entebbe dibawah patronase serdadu Uganda. Pada 3 Juli 1976, empat hari setelah warga non-Yahudi dibebaskan para pembajak, Sayeret Matkal dipimpin Kolonel Jonathan Netanyahu (kakak mantan Perdana Menteri/PM Israel, Benjamin Netanyahu) menyerbu Entebbe guna membebaskan warga Israel yang disandera lewat Operasi Entebbe yang legendaris itu. Operasi itu berhasil membebaskan para sandera dan langsung dibawa pulang ke Israel, sementara pembajak yang jumlahnya enam orang tewas dibunuh pasukan komando Israel bersama 45 serdadu Uganda yang melindunginya. Sayeret Matkal sendiri hanya kehilangan Kolonel Netanyahu yang mati ditembak penembak jitu serdadu Uganda. Operasi penyelamatan berlangsung di kegelapan malam saat warga Uganda tertidur lelap, termasuk Presiden Idi Amin. Keesokan hari, Idi Amin dikabari bahwa pasukan komando Israel berhasil membebaskan sandera dan membawanya ke Israel. Idi Amin murka dan menyampaikan protes ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), karena Israel telah melanggar kedaulatan Uganda, tapi PBB malah membenarkan aksi militer Israel itu. Idi Amin lalu mendapat kabar bahwa seorang mantan sandera Yahudi berkewarganegaraan Inggris sedang dirawat di rumah sakit di Kampala. Tiba-tiba sandera yang tak lain adalah Dora Bloch raib dari rumah sakit dan beberapa hari kemudian ditemukan di satu ladang pertanian sudah menjadi mayat dengan tengkorak rusak. Beberapa kalangan menduga Idi Amin memerintahkan melenyapkan Dora untuk melampiaskan dendam pada Israel yang telah membunuhi tentara Uganda dan memasuki Uganda tanpa sepengetahuannya. Pemerintah Inggris marah besar kepada Idi Amin dan menuntut diktator itu menerangkan apa yang terjadi pada Dora, namun Idi Amin menolaknya sehingga Inggris memutuskan hubungan diplomatik dengan Uganda. Selama 30 tahun, misteri kematian Dora Bloch tak pernah terungkap ke publik sampai kemudian dibeberkan oleh pemerintah Inggris pada Februari 2007 di bawah Undang-Undang Kebebasan Informasi. Ternyata, menurut dokumen rahasia itu, Komisaris Tinggi Inggris di Kampala menerima laporan seorang sipil Uganda bahwa Dora ditembak tentara dan mayatnya diangkut ke sebuah kendaraan milik dinas intelijen Uganda. Pengungkapan ini kemudian menciptakan kotroversi hebat di parlemen Inggris hingga sempat menciptakan polemik hebat di media massa Inggris.Tiga bulan setelah terkuaknya misteri kematian Dora, seorang diplomat Inggris di Kedutaan Besar Inggris di Prancis menyampaikan keterangan lain seputar Pembajakan Entebbe yang kali ini tak saja mengguncang Inggris, tetapi juga Amerika Serikat (AS) dan Israel. Sang diplomat bernama DH Colvin itu mengungkapkan bahwa Dinas Rahasia Israel, Shin Beit, atau disebut juga Shabak, berada dibalik aksi penyanderaan tersebut. Informasi ini didapat Colvin dari seorang kontak pada Asosiasi Parlemen Eropa-Arab yang mengaku bahwa Israel telah mendesain krisis sandera di Entebbe itu. "Menurut dia, pembajakan Entebbe dilakukan oleh Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) atas bantuan Shin Beit," kata Colvin mengutip keterangan sang kontak, dalam sebuah dokumen yang dirilis Arsip Nasional Inggris. Sumber itu juga mengatakan, anggota PFLP berasal dari elemen-elemen paling radikal gerakan perlawanan Palestina yang diantaranya sengaja ditanam dinas rahasia Israel, imbuh Colvin. Keterangan Colvin ini diungkapkan pada 1 Juni 2007 dan dikutip banyak media Inggris, termasuk BBC dan harian-harian terkemuka, seperti Daily Telegraph dan The Guardian. Sumber Colvin itu menyebutkan konspirasi itu adalah persekutuan busuk (unholly alliance) yang dirancang untuk mendeskreditkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di mata Prancis. Prancis saat itu adalah satu-satunya negara Eropa yang mengakui PLO dan mengizinkan organisasi pimpinan Yasser Arafat (kini almarhum) itu membuka kantor di Paris. Bukan hanya itu, aksi pembajakan tersebut juga ditujukan untuk merusak prospek melunaknya sikap AS terhadap PLO. "Mereka (dinas rahasia Israel dan kelompok radikal Palestina) khawatir pemilu November 1976 di AS bakal menghasilkan penguasa Gedung Putih yang mau berbicara dengan PLO. Kelompok-kelompok radikal Palestina mencemburui PLO, sedangkan Israel melihat perubahan konstelasi politik di Washington akan merusak eksistensi negara Yahudi Israel," kata Colvin. Kelompok radikal akan kehilangan alasan memeroleh dukungan rakyat karena negara-negara Barat hanya akan melihat PLO sebagai satu-satunya perwakilan sah bangsa Palestina, sementara itu Israel melihat perbaikan hubungan PLO dengan AS akan membuat Gedung Putih memaksa Israel menyerahkan daerah-daerah Arab yang didudukinya dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Setelah Pembajakan Entebbe tersebut negara-negara Eropa memang mengubah kebijakannya terhadap Palestina, terutama kebijakan pemberian suaka kepada para pejuang Palestina yang menjadi buron Pemerintah Israel. Israel berharap pembajakan itu membuat Prancis mempertimbangkan lagi kebijakannya di Timur Tengah dengan menarik dukungannya terhadap inisiatif perdamaian di Timur Tengah yang berisi usulan pendirian negara Palestina di beberapa wilayah pendudukan Yahudi, kata Colvin. Terlepas benar atau tidak keterangan yang disampaikan Colvin, namun teori konspirasi yang menyebutkan dinas rahasia Israel terlibat dalam berbagai kampanye politik kotor sudah bukan rahasia bagi orang-orang Timur Tengah. Agen-agen intelijen Israel, bahkan dianggap tega mengorbankan warganya sendiri untuk mendeskreditkan kelompok-kelompok perlawanan Arab Palestina dan musuh-musuhnya di Timur Tengah dengan tujuan menggagalkan setiap resolusi politik Arab - Israel. Beberapa teori menguatkan dugaan itu, diantaranya buku "Lies, Israel`s Secret Service and the Rabin Murder" karangan psikiatris AS, David Morrison, yang mengungkap misteri pembunuhan PM Israel, Yitzhak Rabin. Morrison mengajukan pertanyaan-pertanyaan konspiratif soal siapa yang sebenarnya membunuh Yitzhak Rabin, yakni apakah dinas rahasia Israel, Shabak, terlibat di dalamnya. Rabin yang tengah berpawai pro-perdamaian Israel-Palestina dibunuh seorang Yahudi fanatik bernama Yigal Amir, padahal saat itu Rabin ditempel ketat Dinas Rahasia Israel, Shabak atau Shin Beit. Dinas rahasia utama Israel adalah Mossad, sedangkan militer mempunyai intelijen sendiri bernama Aman. Jika Morrison yang orang Yahudi saja menduga dinas rahasia Israel bermain politik kotor di Israel, maka apalagi warga Arab yang selama ini telanjur yakin bahwa Israel kerap mendesain banyak konflik di Timur Tengah seperti dalam perseturuan Hamas dan kelompok Mahmoud Abbas atau antar milisi Fatah al-Islam dan Pemerintah Lebanon. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007