Wartawati media cetak nasional asal Indonesia itu memilih menuliskan kutipan pepatah tersebut saat berkunjung ke Yandai Byway (Jalan Yandai) di kawasan Hutong, Beijing, di sela-sela kegiatan peliputan atas undangan Kementerian Luar Negeri China.
Adalah Chinese Imperial Post, sebuah kantor pos yang menawarkan pengalaman berkomunikasi lewat tulisan yang kini telah ditinggalkan orang seiring perkembangan zaman.
"Saya ingin anak saya, yang termasuk generasi milenial, merasakan serunya menerima pesan dari ibunya lewat kartu pos," ujar Aufrida.
Pengalaman berkomunikasi lewat media pos diyakininya sudah tidak lagi dirasakan generasi muda yang sekarang lebih banyak terpapar teknologi dan modernisasi.
"Anak sekarang sejak masih kecil saja sudah sangat akrab dengan gawai dan game elektronik," kata Aufrida melanjutkan.
Kantor pos Chinese Imperial Post yang terletak di Yandai Byway, kawasan Hutong, Beijing pada Jumat (22/9/2017). (ANTARA/Yashinta Difa)
Sama seperti di berbagai belahan dunia lainnya, masyarakat China pun sudah meninggalkan tradisi berkirim pesan melalui pos.
Menurut Hu Fangfang, pemandu perjalanan Antara selama berada di Beijing akhir September lalu, kini hanya orang-orang di pedesaan yang masih menggunakan jasa pos.
Anak muda dan orang-orang yang tinggal di kota lebih memilih berkomunikasi lewat gawai pintar masing-masing karena lebih hemat waktu dan biaya.
Alasan itulah yang membuat keberadaan Chinese Imperial Post di kawasan perbelanjaan Yandai menjadi alternatif kegiatan yang menarik wisatawan dalam dan luar negeri.
Didirikan oleh Kaisar Guang Xu dari Dinasti Qing pada 20 Maret 1896, kantor pos merangkap museum ini menyajikan beberapa momentum penting sejarah masa perang mulai dari Dinasti Shang hingga pembentukan Beijing.
Sistem pos China sendiri memiliki sejarah panjang yang dapat ditelusuri kembali setidaknya 3.000 tahun ke masa Dinasti Shang.
Awalnya layanan pos hanya digunakan untuk pengiriman dokumen resmi, terutama militer. Sistem stasiun dikembangkan untuk membantu distribusi pesan. Melalui sistem ini, semua pesan akan dipindahkan oleh kurir-kurir yang melakukan perjalanan dari satu stasiun ke stasiun lain.
Suasana di dalam kantor pos Chinese Imperial Post yang terletak di Yandai Byway, kawasan Hutong, Beijing, China, pada Jumat (22/9/2017). (ANTARA/Yashinta Difa)
Pada masa Dinasti Qin (221-206 SM), kerajaan-kerajaan kecil disatukan dan sebuah sistem pos nasional dikembangkan. Meskipun periode perdamaian dan penyatuan tidak berlangsung lama, komponen sistem pos tetap digunakan secara regional.
Diteruskan oleh Dinasti Han (206-220 SM), sistem pos China berhasil mencapai Kekaisaran Romawi melalui Jalur Sutera.
Jalur Sutera yang terdaftar sebagai warisan dunia oleh UNESCO, bersamaan dengan Kanal Besar China dan pelayaran Zheng He merupakan tonggak sejarah pembangunan pos terbesar pada masa China kuno.
Sejak saat itu, sistem pos China terus berkembang melalui kurir yang menempuh perjalanan darat dan air untuk mencapai tujuan mereka, tetapi penggunaannya hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan militer.
Baru pada abad 15 kantor pos swasta muncul dan pedagang mulai menggunakan fasilitas tersebut untuk berkomunikasi dan melakukan transaksi.
Pada akhir 1800-an sistem mulai dipengaruhi oleh negara-negara Barat. Pemerintah mengeluarkan cap pos pertama pada 1876 bergambar naga besar. Pada revolusi 1911, pemerintah China menutup semua stasiun pos untuk digantikan dengan cara yang lebih modern dan efisien, serta mengendalikan sebagian besar perusahaan pos pribadi.
Pada 1949, sebuah Kementerian Pos dan Telekomunikasi didirikan untuk menata ulang sistem tersebut menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai China Post.
Modernisasi memungkinkan jangkauan yang lebih luas lagi ke kota-kota pedesaan dan daerah-daerah yang telah diabaikan oleh sistem pos pada abad-abad yang lalu. Dalam hitungan dekade, sistem pos yang telah menjadi bagian dari China selama ribuan tahun, telah berakhir.
Diteruskan oleh Dinasti Han (206-220 SM), sistem pos China berhasil mencapai Kekaisaran Romawi melalui Jalur Sutera.
Jalur Sutera yang terdaftar sebagai warisan dunia oleh UNESCO, bersamaan dengan Kanal Besar China dan pelayaran Zheng He merupakan tonggak sejarah pembangunan pos terbesar pada masa China kuno.
Sejak saat itu, sistem pos China terus berkembang melalui kurir yang menempuh perjalanan darat dan air untuk mencapai tujuan mereka, tetapi penggunaannya hanya terbatas pada kalangan pemerintah dan militer.
Baru pada abad 15 kantor pos swasta muncul dan pedagang mulai menggunakan fasilitas tersebut untuk berkomunikasi dan melakukan transaksi.
Pada akhir 1800-an sistem mulai dipengaruhi oleh negara-negara Barat. Pemerintah mengeluarkan cap pos pertama pada 1876 bergambar naga besar. Pada revolusi 1911, pemerintah China menutup semua stasiun pos untuk digantikan dengan cara yang lebih modern dan efisien, serta mengendalikan sebagian besar perusahaan pos pribadi.
Pada 1949, sebuah Kementerian Pos dan Telekomunikasi didirikan untuk menata ulang sistem tersebut menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai China Post.
Modernisasi memungkinkan jangkauan yang lebih luas lagi ke kota-kota pedesaan dan daerah-daerah yang telah diabaikan oleh sistem pos pada abad-abad yang lalu. Dalam hitungan dekade, sistem pos yang telah menjadi bagian dari China selama ribuan tahun, telah berakhir.
Ragam kartu pos yang dijajakan di kantor pos Chinese Imperial Post yang terletak di Yandai Byway, kawasan Hutong, Beijing pada Jumat (22/9/2017). (ANTARA/Yashinta Difa)
Namun, saat ini keberadaan kantor pos tradisional semakin terbatas dan mengakibatkan berkirim surat menjadi pengalaman langka yang berharga.
Chinese Imperial Post pun cukup menarik perhatian di antara deretan toko-toko penjual pakaian, makanan, dan berbagai suvenir khas China yang berderet di Jalan Yandai.
Di dalam kantor pos yang berukuran kecil memanjang ke dalam ini, pengunjung dapat memilih kartu pos dengan beragam gambar, seperti hewan, tumbuhan, tulisan China, dan foto kuno.
Harga yang dipasang untuk setiap kartu pos juga sangat bervariasi mulai dari 8-60 yuan (sekitar Rp16.000-Rp120.000) tergantung gambar, desain, dan ukuran.
Sementara, untuk perangko kirim dibanderol dengan harga 0,8 yuan untuk wilayah China dan 4,5 yuan (sekitar Rp9.000) untuk alamat tujuan luar negeri.
Namun, saat ini keberadaan kantor pos tradisional semakin terbatas dan mengakibatkan berkirim surat menjadi pengalaman langka yang berharga.
Chinese Imperial Post pun cukup menarik perhatian di antara deretan toko-toko penjual pakaian, makanan, dan berbagai suvenir khas China yang berderet di Jalan Yandai.
Di dalam kantor pos yang berukuran kecil memanjang ke dalam ini, pengunjung dapat memilih kartu pos dengan beragam gambar, seperti hewan, tumbuhan, tulisan China, dan foto kuno.
Harga yang dipasang untuk setiap kartu pos juga sangat bervariasi mulai dari 8-60 yuan (sekitar Rp16.000-Rp120.000) tergantung gambar, desain, dan ukuran.
Sementara, untuk perangko kirim dibanderol dengan harga 0,8 yuan untuk wilayah China dan 4,5 yuan (sekitar Rp9.000) untuk alamat tujuan luar negeri.
Wartawati Indonesia, Aufrida Wismi Warastri, memasukkan kartu pos yang akan dikirimkan kepada putranya di Indonesia. (ANTARA/Yashinta Difa)
Setelah membayar kartu pos dan perangko, pengunjung bisa menulis pesannya di lembar belakang kartu pos, lalu menempeli kartu tersebut dengan perangko dan membubuhkan cap di atas perangko.
Tahap akhir dari proses yang mengasyikkan ini yakni memasukkan kartu pos ke kotak pos berbentuk tabung besar yang disediakan di depan Chinese Imperial Post. Untuk alamat Indonesia misalnya, si pengirim harus sabar menunggu selama dua bulan sampai pesannya dapat diterima oleh orang yang dituju.
Kuno
Jalan Yandai, yang secara harfiah berarti "pipa tembakau" dalam bahasa Mandarin, berukuran panjang 232 meter dan lebar enam meter ini dua abad lalu dikenal sebagai Jalan Gulou seperti tercatat dalam peta kuno Beijing.
Pada akhir Dinasti Qing berganti nama menjadi Yandai karena di sepanjang jalan tersebut banyak penjual kantung-kantung berisi tembakau, perangkat merokok, lukisan, kaligrafi, dan barang antik lainnya.
Karena merepresentasikan adat tradisional dan ciri khas Beijing kuno, Pemerintah Distrik Xicheng merestorasi kawasan tersebut pada 2007 dan kini ditetapkan sebagai kawasan perbelanjaan khusus oleh Biro Perdagangan Kota Beijing.
Suasana tepian Danau Shiachai di Distrik Xicheng, Beijing, China, yang ramai dikunjungi oleh turis maupun warga lokal pada malam hari. (ANTARA/Yashinta Difa)
Secara umum, artistektur Jalan Yandai masih bertahan pada keaslian gaya anggun dan sederhana khas Dinasti Ming dan Qing.
Selain menjaga tradisi dengan menjual pipa rokok, jejeran toko di jalan komersial kelas atas selama periode 1920-an itu, juga menjajakan sutra, teh, makanan, dan batu giok.
Jalan ini juga berdekatan dengan Danau Shichahai yang justru ramai dikunjungi orang pada malam hari karena keindahan pantulan lampu-lampu restoran, toko, dan bar yang berjejer di sepanjang tepiannya.
Kawasan ini bagai oase bagi orang-orang yang ingin merasakan atmosfer masa lalu, di tengah Beijing yang telah berkembang menjadi ibu kota yang sangat modern, lengkap dengan gedung-gedung menjulang tinggi dan padatnya lalu lintas.
Secara umum, artistektur Jalan Yandai masih bertahan pada keaslian gaya anggun dan sederhana khas Dinasti Ming dan Qing.
Selain menjaga tradisi dengan menjual pipa rokok, jejeran toko di jalan komersial kelas atas selama periode 1920-an itu, juga menjajakan sutra, teh, makanan, dan batu giok.
Jalan ini juga berdekatan dengan Danau Shichahai yang justru ramai dikunjungi orang pada malam hari karena keindahan pantulan lampu-lampu restoran, toko, dan bar yang berjejer di sepanjang tepiannya.
Kawasan ini bagai oase bagi orang-orang yang ingin merasakan atmosfer masa lalu, di tengah Beijing yang telah berkembang menjadi ibu kota yang sangat modern, lengkap dengan gedung-gedung menjulang tinggi dan padatnya lalu lintas.
Oleh Yashinta Difa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017