New York (ANTARA News) - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dalam sidang pada Jumat di Markas Besar PBB, New York, gagal mengesahkan pernyataan pers yang berniat mengutuk keras pernyataan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad soal "kehancuran Israel", karena Indonesia, yang menjadi salah satu dari 15 anggota, menolak pengesahannya. Wakil Tetap Prancis untuk PBB, Jean-Marc de La Sabliere, usai sidang menyatakan penyesalannya karena DK PBB gagal mengeluarkan pernyataan mengutuk Iran. Prancis, salah satu anggota tetap DK PBB selain Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia, dan China, adalah negara penggagas rancangan pernyataan pers soal kecaman terhadap Ahmadinejad dan gagasan tersebut didukung penuh anggota lainnya, terutama oleh AS dan Inggris. "Mayoritas anggota Dewan menginginkan adanya pernyataan mengutuk. Tapi, sayangnya kita tidak dapat mengesahkan rancangan itu hari ini karena ada keberatan dari salah satu negara," katanya, tanpa menyebut nama Indonesia. Kalangan diplomat internasional di Markas Besar PBB mengatakan bahwa saat sidang, Indonesia --yang diwakili oleh Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, Hasan Kleib-- menjadi satu-satunya negara yang langsung menyatakan menolak pengesahan pernyataan kutukan terhadap Irak. Sementara itu, satu negara lainnya, yaitu Qatar, tidak memberi pernyataan apa pun, dan mengatakan pihaknya akan berkonsultasi dulu dengan Doha sebelum menyatakan setuju atau tidak terhadap pengesahan pernyataan tersebut. Dua hari sebelumnya, yaitu 6 Juni 2007, Perwakilan Tetap Israel untuk PBB di New York mengirimkan surat kepada DK PBB untuk menanggapi pernyataan Ahmadinejad saat berpidato pada 3 Juni 2007. Ahmadinejad dikutip saat mengatakan "Dengan pertolongan Tuhan, tombol detik-detik kehancuran rezim Zionis sudah mulai ditekan oleh tangan-tangan anak-anak Lebanon dan Palestina". Baik La Sabliere maupun Wakil Tetap AS untuk PBB, Zalmay Khalilzad, menganggap pernyataan Ahmadinejad sebagai masalah serius. "Kita tidak boleh mengabaikannya. Presiden salah satu negara bicara tentang penghancuran suatu negara lainnya yang merupakan anggota PBB, kami anggap Dewan Keamanan harus bereaksi," kata La Sabliere. "Ini adalah masalah serius, prinsipil, tidak dapat diterima dan merupakan isu menyangkut ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional," kata Dubes Khalilzad, secara terpisah kepada para wartawan. Dubes La Sabliere mengatakan, DK akan kembali bertemu pada Senin (11/6) untuk mencoba kembali upaya menuju pengesahan. Namun, sejumlah kalangan memperkirakan pengesahan itu akan menemui jalan buntu karena keberatan-keberatan yang diajukan Indonesia. Dari tiga produk yang dihasilkan Dewan Keamanan PBB, yakni resolusi, pernyataan Presiden DK, dan pernyataan pers, maka hanya resolusi yang disahkan melalui voting. Sementara itu, dua hal lainnya harus dengan suara bulat. Hasan Kleib, saat ditemui ANTARA News menyebutkan setidak-tidaknya ada tiga alasan yang membuat Indonesia menolak pengesahan. Pertama, Indonesia menganggap DK PBB kurang adil, mengeluarkan suatu reaksi atas pilihannya sendiri, dan dalam hal ini memenuhi permintaan Watap Israel, agar DK PBB melakukan tindakan terhadap Presiden Iran. "Sementara itu, Dewan Keamanan sama sekali tidak memberikan reaksi, walaupun kita minta berulang kali, terhadap isu-isu lain yang lebih jelas mengancam perdamaian dan keamanan internasional," kata Hasan. Ia mencontohkan, tindakan penculikan dan penahanan yang dilakukan oleh Israel terhadap anggota kabinet dan parlemen Palestina; rencana Israel membunuh kepala biro politik Hamas, Khalid Mishal; ataupun perusakan setiap hari yang dilakukan Israel di wilayah pendudukan. "Terhadap kasus-kasus tersebut, Dewan Keamanan sama sekali tidak mengeluarkan satu pun pernyataan kepada media," tegasnya. Kedua, Indonesia menganggap pernyataan Ahmadinejad pada 3 Juni itu bersifat retorik --yang disampaikan dalam rangka peringatan 18 tahun wafatnya Imam Khomeini-- sehingga bukan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. "Kita terbiasa melihat adanya lingkaran retorika antara Israel dan Iran selama ini," ujar Hasan Kleib. Sebagai contoh, ujarnya, pejabat Israel yang dikutip koran Israel, Haaretz, pada April 2006 menganjurkan pembunuhan terhadap Presiden Ahmadinejad karena `hal itu akan lebih mendorong terciptanya stabilitas`. DK-PBB tidak mengeluarkan reaksi terhadap kasus tersebut. Ketiga, Indonesia melihat rancangan pernyataan pers DK PBB tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Iran sendiri. Ahmadinejad tidak mengatakan Iran akan menyerang Israel," kata Hasan. Selain itu, penyebutan "Negara Israel" dalam rancangan pernyataan pers, ujarnya, tidak sama dengan apa yang telah disebutkan oleh Sekretaris Jenderal (Sesjen) PBB, Ban Ki-moon, sehari sebelumnya yang mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap pernyataan Presiden Iran. "Seperti yang disampaikan oleh Sesjen PBB, bahkan surat dari Watap Israel sendiri, yang disebut bukan `Negara Israel` melainkan `Rejim Zionis`," katanya. Sementara itu, Duta Besar Iran di PBB, Mehdi Danesh-Yazdi, dalam wawancara dengan ANTARA News mengatakan DK PBB seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan pers karena apa yang dikatakan presidennya tidak mengancam siapa pun ataupun perdamaian dan keamanan internasional. Ia mengkritik DK PBB yang kerap memihak dan tidak adil dalam mengambil sikap dan melakukan tindakan. "Dewan Keamanan diam jika kasusnya dilakukan oleh Israel. Tapi, kalau pernyataan rutin oleh pejabat Iran, mereka cepat-cepat mengambil sikap dan mendorong semua anggota Dewan untuk menentukan posisi yang tidak adil terhadap Iran," cetusnya. Danesh-Yazdi juga melihat banyak media Barat dalam memberitakan pernyataan Presiden Ahmadinejad kepada publik mereka, sering salah kutip dan salah interpretasi. Ia menjelaskan, dalam pernyatan 3 Juni 2007, Presiden Ahmadinejad sebenarnya memberikan peringatan kepada Israel bahwa banyak berita dan isu yang beredar belakangan ini bahwa Israel sedang merencanakan menyerang Lebanon pada musim panas mendatang. "Tentu semua pihak harus berupaya menghindarkan jangan sampai terjadi. Dan, beliau mengingatkan kepada rezim Israel, agar jangan sampai mengulang kesalahan tahun lalu, saat mereka menyerang Lebanon. Itu sebenarnya maksud Presiden," papar Dubes Iran di PBB tersebut. Danesh-Yazdi mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan untuk mengirimkan surat kepada DK PBB guna memaparkan kejadian yang sebenarnya. Soal posisi Indonesia yang menolak pengesahan pernyataan pers, Dubes Iran mengatakan, "Itu sesuai dengan yang kami harapkan dari saudara-saudara kami dari Indonesia. Kami sangat berharap ini menjadi indikasi bagi penentuan posisi Indonesia di Dewan Keamanan di masa-masa mendatang." (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007