Jakarta (ANTARA News) - Mantan Direktur Utama (Dirut) PLN, Eddy Widiyono, Rabu diperiksa penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai saksi kasus dugaan kredit macet pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sampit, Kalimantan Tengah, yang merugikan keuangan negara Rp69 miliar. Eddy Widiyono diperiksa Kejagung sejak pukul 09.30 WIB, dan baru ke luar dari ruang penyidik pada pukul 19.05 WIB. Mantan petinggi PLN itu, membantah bahwa dirinya telah menandatangani Surat Perintah Penyidikan (SPK) untuk mengucurkan uang dari Bank Mandiri untuk pembangunan PLTU Sampit. "Tidak ada SPK," katanya. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy, mengatakan, kasus PLTU Sampit itu, saat Eddy Widiyono sebagai Dirut PLN. "Dia mengetahui adanya semacam SPK (Surat Perintah Kerja) dengan Bank Mandiri, hingga mengucurkan dana kepada dua tersangka," katanya. Dalam kasus PLTU Sampit itu, Kejagung sudah menetapkan dua tersangka, yakni, Bramantyo, Direktur Utama (Dirut) PT Masesa, dan Fahri Ahmad, Dirut PT Karya Putra Powerin (KPP). "Kita sebelumnya sudah memanggil Eddy Widiyono, tapi tidak datang," katanya. Ia menjelaskan kasus PLTU Sampit itu terkait dengan kredit macet, ternyata uang itu tidak digunakan untuk membangun tapi untuk yang lain. Kemudian, ada protes dari Gubernur Kalteng. "Nah uangnya dipertanyakan, ini (Eddy Widiyono) kita panggil sebagai saksi. Ini laporan dari masyarakat dan ada kaitannya kerjasama dengan pemda," katanya. Kasus itu bermula dari proyek pembangunan PLTU Sampit yang dikerjakan oleh PT Karya Putra Powerin (KPP), namun perusahaan itu tidak mengerjakannya sendiri melainkan bekerjasama dengan PT Masesa. Rekanan KPP, PT Masesa, ternyata tidak memiliki kualifikasi untuk proyek itu dan pembangunannya baru berjalan 20 persen. Padahal PT KPP meminjam uang kepada Bank Mandiri. Pada 15 Januari 2004, ada perjanjian pembelian tenaga listrik 2x7 megawatt antara PLN Wilayah Kalsel Tengah dengan PT KPP. Pada 6 Mei 2004, PT KPP mengajukan fasilitas kredit Bank Mandiri Cabang Thamrin Jakarta sejumlah Rp69 miliar.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009