Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Agroteknologi Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, Isrun Muh Nur, mengapresiasi penambang emas tidak menggunakan zat kimia berbahaya jenis merkuri di Poboya, Palu.
"Jika masyarakat sepakat tidak menggunakan merkuri maka memberikan dampak signifikan bagi lingkungan di Palu," kata Isrun saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.
Isrun mengaku pernah meneliti dan mengamati penambangan tradisional di Poboya bersama salah satu universitaa asal Jepang selama dua tahun pada 2013.
Saat itu, Isrun menuturkan warga Poboya masih menggunakan bahan kimia merkuri sebanyak 150 mililiter melalui 170 ribu mesin tromol dan gelundung setiap hari beraktivitas tiga kali.
Akademisi Universitas Tadolako lainnya, Sandy Purnawan mengaku pernah meneliti pola tradisi masyarakat yang positif terkait kandungan konsentrasi merkuri pada sedimen di sekitar muara Sungai Poboya pada 2012.
Sandy meyakini perubahan positif masyarakat itu akan berdampak baik bagi kesehatan dan lingkungan di Poboya.
Bersama dua rekan sejawatnya, Sandi meneliti kebiasaan masyarakat Poboya dengan judul "Distribusi Logam Merkuri Pada Sedimen Laut Di Sekitar Muara Sungai Poboya".
Hasil penelitian menunjukkan tingkat konsentrasi merkuri pada sendimen di sekitar muara Sungai Poboya kisaran antara 0,0103 mg per kg hingga 0,185 mg per kg.
Sandy menjelaskan tingkat konsentrasi tersebut berada di bawah ambang batas yang diizinkan pemerintah padahal saat itu marak aktivitas penambangan emas menggunakan merkuri di Poboya.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan akumulasi logam Hg pada sendimen di muara Sungai Poboya tidak mengalami peningkatan yang berarti.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha juga mengapresiasi kesadaran masyarakat meninggalkan penggunaan zat kimia merkuri untuk penambangan emas di Poboya Palu Sulawesi Tengah.
Sebaliknya, Satya menegaskan pemerintah akan menjatuhkan sanksi terhadap penambang yang menggunakan merkuri.
Terlebih Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa pada Undang-Undang Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury yang telah disahkan pada 13 September 2017.
Satya menjelaskan ratifikasi itu menjadi alat dan payung hukum bagi aparatur negara untuk menindak penambang yang menggunakan merkuri.
Sebagai alternatif, Satya menyebutkan penambang bisa menggunakan cairan sianida emas menjadi pengganti merkuri.
Hal itu dikemukan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RU pada beberapa waktu lalu.
Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Purwasto Saroprayogi sempat mengemukakan sedang menyiapkan proyek percontohan penggunaan sianida sebagai pengganti merkuri bersama BPPT salah satu lokasinya di Poboya.
(T.T014/I007)
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017