Budi Sugandha dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu, menyatakan hal tersebut terkait merujuk pada kasus penembakan brutal yang terjadi di Las Vegas, Amerika Serikat, 2 Oktober 2017 waktu setempat.
Budi memaparkan, saat ini memang pemerintah Indonesia tidak mengizinkan warga sipil atau institusi di luar TNI/Polri memiliki senjata api.
Namun, lanjutnya, sekarang lagi ramai dengan pemberitaan kasus adanya institusi di luar TNI dan Polri yang akan mendatangkan senjata "ilegal" seperti yang disebut panglima.
"Kalau ini benar, maka pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk meredam serta mencegah hal itu terjadi. Karena kalau dibiarkan, bisa saja kasus penyalahgunaan senjata oleh orang atau institusi tertentu, seperti yang ada di Amerika nantinya terjadi juga di Indonesia," terang Budi.
Ia menuturkan, beberapa jam pascakejadian penembakan brutal itu, isu tentang pengetatan kepemilikan senjata kembali mencuat, yang salah satunya disuarakan oleh mantan calon presiden AS Hillary Clinton.
Meski demikian, lanjutnya, tidak sedikit pihak yang menentang ide pengetatan senjata dengan berargumen bahwa pelaku adalah psikopat atau menyebut lemahnya keamanan hotel.
"Karena 10 senjata otomatis bisa lolos masuk kamar, dan lainnya. Untuk kedepannya, pemerintah AS harus lebih berani memutuskan UU Kepemilikan Senjata ini," paparnya.
Budi juga mengatakan pernyataan kelompok ISIS yang mengklaim terlibat dalam kasus penembakan brutal di Las Vegas itu telah dibantah oleh pihak penegak hukum AS, "Federal Bureau of Investigation" (FBI).
Ia mengatakan, upaya klaim yang dilakukan ISIS justru ingin menunjukkan bahwa ISIS tengah kehilangan pamor. Sebab di era Presiden Trump saat ini, perhatian pemerintah Amerika Serikat berkurang pada aksi-aksi yang dilakukan ISIS.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017