Jakarta (ANTARA News) - Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur 2013-2016 Dwi Widodo dituntut lima tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia.
"Supaya majelis hakim memutuskan, menyatakan terdakwa Dwi Widodo terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana terhadap Dwi Widodo berupa penjara selama lima tahun ditambah denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum KPK Arif Suhermanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tuntutan itu diajukan karena Dwi dinilai terbukti menerima "fee" sebesar Rp524,35 juta, vocher hotel senilai Rp10,807 juta serta 63.500 ringgit (sekitar Rp197 juta) sebagai imbalan pengurusan calling visa dan pembuatan paspor dengan metode "reach out".
Tuntutan itu disampaikan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Selain pidana penjara, JPU KPK juga menuntut Dwi Widodo untuk membayar uang pengganti sejumlah harta benda yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.
"Menghukum Dwi Widodo membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi aquo yaitu sejumlah Rp535,1 juta dan 27.400 ringgit Malaysia dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya akan disita oleh jaksa untuk dilelang dan bila tidak mencukupi akan dipidana selama dua tahun penjara," tambah Jaksa Arief.
Uang pengganti itu berkurang karena sejumlah pegawai KBRI Kuala Lumpur yang menerima uang dari Dwi sudah mengembalikan uang dalam penyidikan di KPK.
"Uang 63.500 ringgit Malaysia ada yang digunakan untuk THR staf KBRI pada 2016 namun staf KBRI sudah mengembalikan 36.100 ke KPK pada tahap penyidikan sehingga jumlah yang harus dikembalikan adalah Rp524,35 juta; vocer hotel senilai Rp10,807 juta dan 63.500 dikurangi 36.100 ringgit Malaysia sebagai jumlah yang dinikamti terdakwa," ungkap jaksa.
Terima hadiah
Dwi Widodo sebagai Atase Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur pada 2013-2016 menerima hadiah seluruhnya berjumlah Rp524,35 juta, vocher hotel senilai Rp10,807 juta sebagai imbalan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur dari negara-negera rawan.
"Calling visa" adalah persetujuan visa oleh Ditjen Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan hasil penilaian terhadap permohonan warga negara asing dari negara tertentu yang ditetapkan oleh tim yang ditunjuk ditinjau dari aspek-aspek sosial, politik, keamanan negara dan keimigrasian.
Pemberian itu berasal dari pertama, PT Anas Poliang Jaya milik Nazwir Anas selama 2014-2016 untuk 143 pemohon dengan imbalan imbalan Rp73,5 juta. Kedua, PT Trisula Mitra Sejahtera dengan direktur Lenggara Latjuba untuk pembuatan calling visa bagi 16 orang warga negara Kamerun, Nigeria dan Somalia yang berprofesi sebagai pedagang dan mendapatkan imbalan Rp27,8 juta.
Ketiga, dari Mahamadou Drammeh selaku Drektur Utama PT Sandugu International karena Dwi mengerjakan 108 calling visa imbalan sebesar Rp245,3 juta. Keempat, dari Direktur PT Rasulindo Jaya Ali Husain Tajibally selama 2013-2014 untuk pengerjaan "calling visa" 42 pemohon, pada 2015 untuk 65 pemohon dan 2016 untuk 40 pemohon yang imbalannya berupa voucher hotel senilai Rp10,807 juta.
Kelima, dari Abdul Fatah selaku Direktur PT Atrinco Mulia Sejati 706 pemohon yang memberikan imbalan senilai total Rp7,5 juta kepada Dwi. Keenam, dari Temi Lukman Winata yaitu Direktur PT Afindo Prima Utama karena Dwi mengurus sembilan warga dengan imbalan Rp2,5 juta. Ketujuh, dari Anwar selaku direktur PT Alif Asia Afrika karena Dwi mengurus 130 permohonan dengan imbalan sebesar Rp145,45 juta.
"Para pemohon calling visa melalui perusahaan-perusahaan penjamin itu ternyata berprofesi sebagai pedagang, bukan dosen/pengajar, mahasiswa, tenaga ahli, penanam modal/investor maupun pekerjaan tingkat manajer tapi terdakwa tetap mengeluarkan berita faksimile (brakfas)," kata jaksa.
Selanjutnya Dwi Widodo juga didakwa menerima imbalan dari layanan keimigrasian "reach out" yaitu metode pelayanan pengurusan paspor kepada TKI yang berada di Malaysia karena paspornya hilang, rusak atau tidak memiliki paspor yang dilakukan di luar KBRI Kuala Lumpur.
Dwi melakukannya kerja sama dengan mantan pegawai KBRI Kuala Lumpur Sayta Rajasa Pane yang sudah diberhentikan pada 2015 karena terlibat dalam percaloan. Satya dengan bantuan Darwinsyah bin Sultan Syahbuddin menggunakan perusahaan Malaysia milik Mohd Rizal bin Mohd Yusof bernama Euro Jasmine Resource, Sdn. Bhd sebagai perusahaan pemohon pelaksanaan reach out untuk menutupi proses percaloan seolah-olah perusahaan itu sebagai syarikat yang mempekerjakan para TKI pemohon paspor.
Dwi dan personel pegawai melaksanakan reach out pelayanan paspor di restoran Mak Mah Port Dickson Negeri Sembilan pada 21 Mei 2016 terhadap 158 orang TKI yang sebagian besar bekerja di sektor restoran dan konstruksi namun karena dilakukan penggerebekan oleh tim dari Suruhan Jaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) atau Malaysia Anti Corruption Commission (MACC) sehingga Dwi hanya bisa mengurus paspor untuk 97 orang.
Dwi lalu menerima uang dari Satya Rajasea seluruhnya 63.500 ringgit malaysia dengan rincian: 9.750 ringgit untuk kepentingan pribadinya, 14.250 ringgit untuk kepentingan Sayta Rajasa dan untuk Tunjangan Hari Raya 82 orang pegwai KBRI Kuala Lumpur sebanyak 39.500 ringgit, termasuk di dalamnya untuk Dwi sebesar 2.000 ringgit.
Atas tuntutan itu, Dwi akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 11 Oktober 2017.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017