Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa putusan praperadilan Setya Novanto merupakan tanggung jawab mutlak hakim pemutus perkara tersebut.
"Baik Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pimpinan Mahkamah Agung sama sekali tidak boleh intervensi," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, Selasa, menanggapi kontroversi seputar putusan gugatan praperadilan Setya Novanto mengenai penetapan dia sebagai tersangka kasus korupsi KTP-elektronik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Abdullah menegaskan bagaimana pun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan dan tidak ada hubungannya dengan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, atau Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pemimpin MA.
"Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto," kata Abdullah.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan bahwa Ketua Pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar sampai tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.
Kendati demikian dalam porsi pengawasan MA tidak bisa masuk ke dalam substansi perkara, karena setiap hakim memiliki independensi yang harus dihormati termasuk oleh MA sendiri.
"Namun jika memang terindikasi ada pelanggaran etika, maka hakim yang bersangkutan akan diperiksa terkait dengan indikasi pelanggarannya," kata Abdullah.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.
Hakim Cepi berkesimpulan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Setya Novanto tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan SOP KPK.
Namun KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.
"Baik Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pimpinan Mahkamah Agung sama sekali tidak boleh intervensi," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, Selasa, menanggapi kontroversi seputar putusan gugatan praperadilan Setya Novanto mengenai penetapan dia sebagai tersangka kasus korupsi KTP-elektronik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Abdullah menegaskan bagaimana pun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan dan tidak ada hubungannya dengan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, atau Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pemimpin MA.
"Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto," kata Abdullah.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan bahwa Ketua Pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar sampai tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.
Kendati demikian dalam porsi pengawasan MA tidak bisa masuk ke dalam substansi perkara, karena setiap hakim memiliki independensi yang harus dihormati termasuk oleh MA sendiri.
"Namun jika memang terindikasi ada pelanggaran etika, maka hakim yang bersangkutan akan diperiksa terkait dengan indikasi pelanggarannya," kata Abdullah.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.
Hakim Cepi berkesimpulan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Setya Novanto tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan SOP KPK.
Namun KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017