Cox's Bazar, Bangladesh (ANTARA News) - Eva Delsi, dokter RSU PKU Muhammadiyah Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, bergegas melamar menjadi relawan kesehatan untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh begitu Muhammadiyah Disaster Management Center membuka pendaftaran relawan ke sana.
Dara lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti dan spesialis gawat darurat dari Universitas Brawijaya, Malang, ini tak berpikir dua kali untuk segera turut dalam misi kemanusiaan Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) dan lalu menjadi Indonesia Humanitarian Alliance (IHA) itu.
"Kalau ke luar negeri untuk jalan-jalan ya sering. Tetapi untuk misi tanggap bencana seperti ini baru kali ini," kata Eva yang rela meninggalkan segala kenyamanan di dalam negeri demi sebuah misi kemanusiaan.
Minggu 1 Oktober itu, dokter muda ini dengan cekatan merawat orang tua, anak-anak, wanita-wanita, dan siapa saja pengungsi Rohingya yang bagai semut menemukan gula dengan cepat mengerubungi pos kesehatan misi kemanusiaan Indonesia yang dibuka sehari sebelumnya pada 30 September di kamp pengungsi Jamtoli, salah satu dusun di wilayah Cox's Bazar, Bangladesh.
Eva enggan berbicara banyak tentang motivasi humanistisnya. Namun profesinya yang membuatnya terbiasa menjadi penampung dan pemberi solusi untuk orang-orang sakit dari berbagai kalangan manusia telah membuatnya mempunyai empati sosial tinggi yang sudah menjadi bekal teramat besar bagi seorang relawan bantuan kemanusiaan.
Empati itu juga sudah tentu ditunjukkan dr. Corona Rintawan yang juga dari RSU PKU Muhammadiyah, namun lebih senior dari Eva.
Koordinator Program Kesehatan IHA itu rela meninggalkan rumah dan anak-istrinya, jauh ribuan kilometer dari Bangladesh di Indonesia, demi merawat pengungsi-pengungsi yang terusir dan diusir dari akarnya hanya karena berbeda dari yang mengusir dan menindasnya ketika Tuhan menciptakan manusia sama.
Corona dan Eva adalah dua dokter spesialis gawat darurat, yang merupakan spesialisasi medik terbilang langka di Indonesia. Padahal spesialis-spesialis seperti mereka sangat dibutuhkan pada situasi-situasi gawat darurat baik dalam situasi normal maupun situasi-situasi luar biasa akibat bencana atau korban konflik seperti di Bangladesh ini.
Corona sudah belasan tahun terlibat dalam misi-misi kemanusiaan seperti di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh ini. Jadi, sudah tak perlu meragukan soal panggilan hati untuk turut dalam misi kemanusiaan ini.
Naluri menolong
Lain lagi dengan dr. Rosita Rivai. Perempuan muda periang yang sudah berkeluarga ini juga enggan "mengekspos" panggilan hatinya demi pergi ke Bangladesh guna merawat Rohingya. Dengan gaya berbicaranya yang enteng, dia cuma menjawab, "pastilah ada panggilan hati seperti itu."
Tapi, jangan ragukan naluri wanita ini dalam menolong orang kesusahan seperti umum dilakukan dokter. Setelah ANTARA News menginformasikan ada seorang ibu Rohingya yang punya bayi baru berumur empat hari, Rosita langsung mengajak ANTARA News untuk menjumpai lagi si ibu. Dia ingin memeriksa ibu dan bayi itu.
Sampai di bedeng pengungsi di mana si ibu Rohingya berada, Rosita langsung berkomunikasi tanpa penerjemah. Tanpa kontak verbal dengan sang ibu pun, Rosita dengan cepat sudah tahu apa yang terjadi pada ibu dan si jabang bayi.
"Ibunya tidak bisa menyusui bayi karena dia sendiri kurang nutrisi," kata Rosita sambil menggendong bayi yang ditaksirnya sudah berusia semingguan.
Satu dokter lainnya dari total empat dokter yang turut dalam tim kesehatan IHA gelombang ini adalah juga senior dalam misi-misi tanggap darurat. Dokter bernama Muhammad Iqbal Mubarak ini adalah dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dalam misi di Bangladesh itu membawa nama Dompet Dhuafa, sama dengan dr. Rosita. Mereka berdua adalah dokter umum.
Tidak seperti umumnya dokter, Iqbal lebih menyerupai pencinta alam. "Saya sebenarnya sering jadi dokter pendamping pencinta alam," beber Iqbal sambil menyebut beberapa puncak gunung tertinggi di dunia yang pernah dia sambangi, termasuk Carstensz di Gunung Jayawijaya.
Tapi dari dokter ini pula ANTARA News mendapatkan informasi-informasi penting mengenai beberapa fakta kemanusian memilukan yang selama ini tidak diketahui banyak, salah satunya tentang wanita-wanita Rohingya yang menjadi korban pemerkosaan sebelum lari ke Bangladesh yang konon ditampung di sebuah tempat khusus yang hanya diketahui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Enam bulan
Ada yang menarik dari tim kesehatan Indonesia ini. Mereka tidak memaksakan standar perlakuan pasien kesehatan yang sudah tentu lebih tinggi dan lebih maju ketimbang standar pelayanan kesehatan di negara semiskin Bangladesh.
Ini berbeda dari misalnya tim kesehatan Malaysia yang memutusakan tak bertahan lama karena enggan beradaptasi dengan sistem pelayanan kesehatan yang berlaku di Bangladesh yang jauh ketinggalan dari Malaysia.
Menurut Corona dan Iqbal, bukan karena mengesampingkan kualitas kesehatan sehingga tim Indonesia seperti berkompromi dengan standar kesehatan yang rendah di Bangladesh, sebaliknya ini ditempuh agar pelayanan kesehatan bisa seluas dan seefektif mungkin menjangkau pengungsi Rohingya karena merekalah yang menjadi alasan utama dokter-dokter ini berada di Bangladesh.
Empat dokter ini, didampingi beberapa perawat yang juga didatangkan khusus oleh IHA dari Indonesia untuk pengungsi Rohingya, adalah bagian dari program bantuan kesehatan untuk para pengungsi Rohingya agar terpastikan sehat selama masa tanggap darurat yang dipasang sampai enam bulan ke depan.
Secara periodik mereka akan digantikan oleh tim-tim kesehatan berikutnya yang sudah antri di Indonesia, menunggu giliran pergi merawat para pengungsi Rohingya. Namun meski baru kurang dari seminggu, kehadiran mereka sudah mendapatkan apresiasi besar dari pengungsi dan warga Bangladesh.
"Anda semua baik sekali. Datang dari tempat yang begitu jauh dari Bangladesh untuk melewati perjalanan dan tugas yang sulit ini. Saya harap Anda semua terus hadir di sini, tidak hanya enam bulan. Kami senang sekali, pelayanan Anda semua bagus sekali," kata Akter Maruf, mahasiswa program medis di sebuah lembaga pendidikan kedokteran di Cox's Bazar yang juga relawan We The Dreamers, mitra lokal IHA untuk pelayanan kesehatan.
Tim relief
Tim kesehatan sudah mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah Bangladesh sehingga sejak beberapa hari lalu sudah bebas melayani para pengungsi Rohingya. Hal ini berbeda dari tim relief atau pemberi bantuan yang terpaksa harus menunggu lama sampai izin dikeluarkan otoritas Bangladesh yang tampaknya kerepotan mengelola krisis kemanusiaan sebesar ini.
Tetapi itu tidak mencegah mereka tidak kehilangan akal untuk menyalurkan bantuan. "Hari ini kami akan menyalurkan bantuan senilai 200 ribu taka (Rp95 juta)," kata Eka Suwandi dari Dompet Dhuafa, Sabtu pekan lalu. Sedangkan Ifik Ismujati dari Lembaga Manajemen Infak (LMI) menyebut angka 6.000 dolar AS untuk total bantuan yang disalurkan kepada pengungsi Rohingya dari lembaganya.
Menggandeng mitra lokal, tim-tim kemanusiaan yang tergabung dalam IHA hampir setiap hari menyalurkan bantuan ke titik-titik pengungsian, termasuk di kamp terbesar pengungsi di Kutapalong.
Di Kutapalong ini pula, salah satu distribusi bantuan terbesar tim relief IHA disalurkan Minggu petang 1 Oktober kemarin. Berkoordinasi dengan satu mitra lokal di Bangladesh, mereka membagikan 1.000 paket bantuan yang menjadi bagian dari total bantuan senilai 50.000 dolar AS untuk pekan-pekan pertama mereka di Bangladesh.
Seluruhnya IHA akan menyalurkan 2 juta dolar AS dalam jangka enam bulan fase darurat. Kaimudin dari PKPU Human Initiative dan Muhammad Wahid dari Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) bahkan menaksir angka jauh lebih besar lagi dari 2 juta dolar AS mengingat antrean panjang donatur Rohingya di Indonesia.
"Kami hanya ingin para pengungsi Rohingya ini siap fisik dan mental untuk kehidupan lebih baik di tempat lain. Kami tak mau bicara soal repatriasi mereka ke Myanmar karena itu sudah urusan politik yang sudah barang tentu bukan wilayah kami," kata Kaimudin.
(BACA: WFP cari 75 juta dolar bagi krisis Rohingya)
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017