Coxs Bazar, Bangladesh (ANTARA News) - Program Pangan Dunia (WFP) pada Minggu meminta 75 juta dolar untuk bantuan darurat selama enam bulan ke depan guna membantu meringankan penderitaan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Sejak 25 Agustus, ratusan ribu Muslim Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang membuat negara tetangga Bangladesh kewalahan, lapor Reuters.
"Ini adalah situasi yang menyedihkan, ini seburuk yang kita lihat. Kita perlu 75 juta dolar untuk enam bulan ke depan," kata David Beasley, direktur eksekutif WFP, kepada wartawan setelah mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh di dekat perbatasan Myanmar.
"Saya katakan kita bisa mengakhiri kelaparan dunia dengan beberapa miliar dolar. Saya memberi tahu donor, jika Anda tidak dapat memberi kami uang, hentikan perang," tambah Beasley, yang organisasinya adalah lembaga bantuan utama yang memerangi kelaparan di seluruh dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini mencari dana sebesar 200 juta dolar dari para donor untuk membantu mengatasi krisis di kalangan Muslim Rohingya.
Sebelumnya tim dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memulai upaya mengumpulkan kesaksian dari para pengungsi kelompok Muslim Rohingya yang mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan bersenjata Myanmar, kata kepala tim pencari fakta PBB, Marzuki Darusman.
Marzuki mengatakan bahwa pihaknya masih mengupayakan untuk memperoleh izin dari pemerintah Myanmar untuk memasuki negara tersebut. Mereka kini hanya bisa mengumpulkan bukti dari para pengungsi dan petugas medis di kota Bangladesh, Coxs Bazar, yang berbatasan langsung dengan negara bagian Rakhine, tempat terjadinya pergolakan.
Tim pencari fakta PBB yang dikepalai oleh mantan jaksa agung Indonesia ini telah mulai bekerja pada Agustus lalu, bersamaan dengan terjadinya serangan oleh kelompok gerilyawan kecil Rohingya yang kemudian memicu terjadinya operasi militer yang kemudian memaksa lebih dari 421.000 orang mengungsi ke Bangladesh.
Myanmar sendiri membantah tudingan dari sejumlah badan pemantau HAM, yang mengatakan bahwa pemerintah berupaya mengusir kelompok minoritas Rohingya untuk keluar dari negara tersebut.
Kubu pemerintah mengaku hanya menarget para pelaku serangan pada 25 Agustus.
Dewan HAM PBB telah mengeluarkan resolusi untuk membentuk tim pencari fakta, yang diberi mandat untuk mencari tahu kebenaran "dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan bersenjata dan pasukan keamanan di Myanmar, terutama di negara bagian Rakhine."
Media internasional selama ini sudah memberitakan nasib kaum Rohingya dan pengakuan mereka akan adanya persekusi oleh para tentara Myanmar. Kepala badan HAM PBB bahkan menyebut operasi militer di Rakhine sebagai contoh tipikal pembersihan etnis.
Temuan awal dari tim pencari fakta PBB akan diungkap ke publik dalam 10 hari mendatang, kata Darusman.
Tim itu diharapkan bisa menyelesaikan laporan penuh pada Maret bulan mendatang. Namun demikian, Darusman mengatakan bahwa tenggat waktu itu tidak cukup dan meminta perpanjangan selama enam bulan.
Sementara itu Duta Besar Myanmar untuk PBB, Htin Lynn, mengatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan perdamaian, ketertiban, serta penegakan hukum.
(Uu.G003)
Sejak 25 Agustus, ratusan ribu Muslim Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang membuat negara tetangga Bangladesh kewalahan, lapor Reuters.
"Ini adalah situasi yang menyedihkan, ini seburuk yang kita lihat. Kita perlu 75 juta dolar untuk enam bulan ke depan," kata David Beasley, direktur eksekutif WFP, kepada wartawan setelah mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh di dekat perbatasan Myanmar.
"Saya katakan kita bisa mengakhiri kelaparan dunia dengan beberapa miliar dolar. Saya memberi tahu donor, jika Anda tidak dapat memberi kami uang, hentikan perang," tambah Beasley, yang organisasinya adalah lembaga bantuan utama yang memerangi kelaparan di seluruh dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa saat ini mencari dana sebesar 200 juta dolar dari para donor untuk membantu mengatasi krisis di kalangan Muslim Rohingya.
Sebelumnya tim dari Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memulai upaya mengumpulkan kesaksian dari para pengungsi kelompok Muslim Rohingya yang mengindikasikan adanya pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan bersenjata Myanmar, kata kepala tim pencari fakta PBB, Marzuki Darusman.
Marzuki mengatakan bahwa pihaknya masih mengupayakan untuk memperoleh izin dari pemerintah Myanmar untuk memasuki negara tersebut. Mereka kini hanya bisa mengumpulkan bukti dari para pengungsi dan petugas medis di kota Bangladesh, Coxs Bazar, yang berbatasan langsung dengan negara bagian Rakhine, tempat terjadinya pergolakan.
Tim pencari fakta PBB yang dikepalai oleh mantan jaksa agung Indonesia ini telah mulai bekerja pada Agustus lalu, bersamaan dengan terjadinya serangan oleh kelompok gerilyawan kecil Rohingya yang kemudian memicu terjadinya operasi militer yang kemudian memaksa lebih dari 421.000 orang mengungsi ke Bangladesh.
Myanmar sendiri membantah tudingan dari sejumlah badan pemantau HAM, yang mengatakan bahwa pemerintah berupaya mengusir kelompok minoritas Rohingya untuk keluar dari negara tersebut.
Kubu pemerintah mengaku hanya menarget para pelaku serangan pada 25 Agustus.
Dewan HAM PBB telah mengeluarkan resolusi untuk membentuk tim pencari fakta, yang diberi mandat untuk mencari tahu kebenaran "dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh angkatan bersenjata dan pasukan keamanan di Myanmar, terutama di negara bagian Rakhine."
Media internasional selama ini sudah memberitakan nasib kaum Rohingya dan pengakuan mereka akan adanya persekusi oleh para tentara Myanmar. Kepala badan HAM PBB bahkan menyebut operasi militer di Rakhine sebagai contoh tipikal pembersihan etnis.
Temuan awal dari tim pencari fakta PBB akan diungkap ke publik dalam 10 hari mendatang, kata Darusman.
Tim itu diharapkan bisa menyelesaikan laporan penuh pada Maret bulan mendatang. Namun demikian, Darusman mengatakan bahwa tenggat waktu itu tidak cukup dan meminta perpanjangan selama enam bulan.
Sementara itu Duta Besar Myanmar untuk PBB, Htin Lynn, mengatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan perdamaian, ketertiban, serta penegakan hukum.
(Uu.G003)
(BACA: Teka-teki pembersihan etnis Rohingya)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017