Jakarta (ANTARA News) - Isu kebangkitan PKI hanyalah dagangan politik. Pasalnya, jika mau jujur, ideologi komunisme sudah tidak laku, tidak ada peminatnya, apalagi generasi milenial.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, M Kholid Syeirazi, dalam tulisannya yang berjudul "Tentang Isu Kebangkitan PKI", menyatakan tidak percaya PKI akan bangkit.

Ia bertanya, apakah gampang jadi komunis. Prinsip komunisme, kata dia, from each according to his ability, to each according to his needs atau aslinya dalam bahasa Jerman, jeder nach seinen Fehigkeiten, jedem nach seinen Bederfnissen.

Dalam bahasa Indonesia, "setiap orang memberi sesuai kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai dengan kebutuhannya".

Contoh mudahnya, jika Anda doktor, lulus S-3 luar negeri, tidak usah pamer ijazah. Jika anak Anda cuma satu, Anda tidak berhak dapat bayaran lebih tinggi daripada tukang parkir lulusan SMP yang anaknya lima. Itu adil dalam perspektif komunisme.

Atas dasar prinsip komunisme yang "sama rata, sama rasa" itu, Kholid yakin ideologi komunisme usang sudah tidak laku lagi.

Komunisme punya mimpi, kaya bersama atau miskin bersama. Padahal, dalam kehidupan ini tidak ada masyarakat bisa tumbuh dan berkembang kalau tidak ada kompetisi. Tanpa kompetisi, tidak ada inovasi, tidak ada kreativitas, tidak ada kemajuan.

Kompetisi adalah kodrat manusia. Islam juga mengajarkan orang untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Akan tetapi, kompetisi juga harus tandem dengan koperasi. Ini merupakan ajaran tawassuth dalam Islam yang tercermin dalam pasal 33 UUD 1945.

Kholid mengatakan, ajaran komunisme yang utopis tidak pernah ada dalam praktik sejarah. Di Uni Soviet, Lenin mendirikan negara sosialis. Ajaran Karl Marx dimodifikasi menjadi: from each according to his ability, to each according to his works (setiap orang memberi sesuai dengan kemampuannya, setiap orang mendapat sesuai dengan prestasinya).

Di sini kerja orang dihargai. Hasrat untuk maju tumbuh. Orang tidak perlu sama-sama miskin. Orang boleh kaya, tetapi jangan terlalu timpang. Ini pun tidak bertahan karena kendali negara terlalu kuat. Orang gerah, tidak bisa kreatif, tidak bebas ekspresi. Uni Soviet tumbang, Tembok Berlin jebol.

Sosialisme-komunisme kandas. Sejarah usai, kapitalisme berjaya, kata Fukuyama. Komunisme tinggal nama. Tidak ada negara komunis. Yang ada adalah negara otoriter dengan sistem politik tertutup tetapi propasar, seperti Republik Rakyat China.

Saat ini ada sejumlah pihak yang menganggap China alias Tiongkok itu komunis. Oleh karena itu, Jokowi yang akrab dengan China disebut pula sebagai antek komunis.

Kholid menegaskan, pemikiran semacam itu hanya patut ditertawakan saja. RRC itu negara kapitalis yang dimodifikasi. Karena sistem politiknya tertutup, porsi negara besar.

Namanya kapitalisme negara. Model begini banyak, termasuk di Singapura.

Jika Jokowi akrab dengan RRC, itu bukan karena beliau turunan PKI dan antek komunis, melainkan karena yang pegang duit sekarang ini RRC.

Jangankan Indonesia, Amerika saja tergantung pada duit RRT. Raja Salman tempo hari juga berusaha menggangsir duit RRC dalam rangka pelepasan saham perdana Saudi Aramco.

Alhasil, komunisme usang, tidak laku. Yang masih laku dan tetap dipelajari dengan penuh minat di kampus-kampus adalah marxisme. Marxisme tidak sama dengan komunisme. Marxisme adalah filsafat kritis terhadap kapitalisme.

Mempelajari marxisme tidak sama dengan menjadi komunis. Orang sekadar pinjam pisau Marx untuk membedah anatomi kapitalisme.

Kholid menekankan tidak perlu takut, banyak pengikut Marx yang tidak paham marxisme. Buku Marx tentang kritik kapitalisme, yakni Das Kapital, sulit dicerna dan dipahami, termasuk oleh pentolan partai komunis di seluruh dunia.

Dahulu, saat Orde Baru berjaya, kiri itu "seksi". Tidak sedikit orang yang juga ingin "terlihat seksi" dengan menenteng-nenteng buku Das Kapital meski tidak paham isinya.

Kembali kepada isu kebangkitan PKI. Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Kivlan Zen dalam acara Indonesia Lawyers Club menyebut indikator kebangkitan PKI adalah suara-suara yang ingin Tap MPRS Nomor/MPRS/1966 dicabut.

Bagi Kholid hal ini terlalu dibesar-besarkan. Pasalnya, dahulu Gus Dur punya ide mencabut Tap MPRS ini untuk membuka pintu rekonsiliasi. Lantas apa berarti Gus Dur komunis?

Ada banyak tafsir dan teori seputar kejadian pada tahun 1965. Selama ini tafsirnya dimonopoli Orde Baru, yakni PKI bersalah, berontak, dan layak dibantai semua pengikut dan simpatisannya. Titik.

Kholid menegaskan bahwa dirinya orang NU dan juga yakin PKI bersalah pada tahun 1965 dan tahun 1948.

Pada dasawarsa 50-an, ayah Kholid merupakan santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Pengasuhnya waktu itu KH Abdul Kholiq Hasyim, putra Hadlratus Syeikh yang terkenal "jaduk" alias sakti.

Semua santri waktu itu digembleng hizib. Untuk melawan PKI yang aktif memprovokasi kekerasan, termasuk di kantong-kantong NU.

Setelah gagal berontak di Madiun pada 1948, PKI terus berambisi mengambil alih kekuasaan dan mempengaruhi Bung Karno. Situasi di bawah panas. Kediri, Blitar, Jombang, dan tempat-tempat lain bergolak. Berdasarkan hikayat lisan, banyak kiai NU dipersekusi PKI.

NU tentu saja melawan. Jadi, teori yang bilang PKI murni korban dalam kasus 1965, pasti ditolak NU. Mereka berhadap-hadapan di lapangan. Sepanjang 1950-1960-an, situasinya seperti kill or to be killed (membunuh atau dibunuh).

Walaupun demikian, kata Kholid, teori yang menimpakan semua kesalahan kepada PKI sehingga mereka layak dihabisi secara brutal, juga tidak adil.

Gus Dur bilang, banyak pihak dalam peristiwa 1965 adalah korban keadaan. Oleh karena itu, beliau berbesar hati meminta maaf atas "peristiwa bersarah yang menelan korban jiwa" itu.


Menanggapi hal itu, Ketua PB Nahdlatul Ulama saat itu, KH Hastim Muzadi, menyambut baik langkah rekonsiliasi itu, tapi dengan catatan. "Rekonsiliasi itu hendaknya dibangun sebagai upaya untuk menatap masa depan, bukan jembatan untuk membangkitkan pertikaian kembali," katanya saat itu.


Prahara 1965 adalah salah satu bab terkelam dari sejarah Indonesia. Kita tahu, pihak-pihak yang ingin kejelasan duduk perkara 1965 tidak bisa serta-merta dianggap mewakili aspirasi PKI.

Di sisi lain, menuntut negara meminta maaf kepada PKI dan menyatakan PKI tidak bersalah akan ditolak banyak orang karena PKI terbukti terlibat dalam kekerasan sosial dan pemberontakan.

Akan tetapi, memberikan keadilan kepada korban yang tidak bersalah: korban salah tangkap, korban stigma, dan korban keadaan perlu dilakukan.

Caranya rekonsiliasi kultural alamiah seperti yang dilakukan NU. Banyak kiai NU di Jawa menjadi ayah asuh bagi anak-anak keturunan PKI. Cara ini merupakan mekanisme kultural terbaik ketimbang menyeret Indonesia ke Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965, di Den Haag, oleh satu pihak dan membangkitkan sentimen anti-PKI sebagai dagangan politik bagi pihak lain.

Dalam kesimpulannya, Kholid berpandangan orang-orang yang menuntut keadilan dan kejelasan peristiwa 1965 tidak otomatis sebagai PKI.

Seperti Gus Dur, banyak kalangan adalah pejuang keadilan dan kemanusiaan.

Isu kebangkitan PKI hanyalah dagangan politik. Komunisme sudah tidak laku. Komunisme hantu yang dipelihara untuk konsolidasi agenda politik.

Jika kita baca buku Robert Dreyfus, Devil's Game, isu komunisme ini mengena di kelompok Islam kanan.

Dahulu, Jamaluddin al-Afghani membangkitkan Pan-Islamisme dengan dukungan Inggris. Agendanya adalah menyingkirkan pengaruh komunisme di Asia Tengah, Afrika, dan Asia Barat Daya.

Semangat revivalisme Islam dibangkitkan untuk melawan pengaruh Uni Soviet di daerah-daerah itu, dan berhasil.

Pola ini terus digunakan. Dalam lanskap Perang Dingin, Amerika dan Inggris melatih para Jihadis di Afghanistan untuk melawan USSR. Isunya Islam lawan komunisme. Setelah sukses mengusir Uni Soviet, mereka kelak membentuk al-Qaeda dan menabrak Pentagon dan WTC.

Di Indonesia, petanya jelas sekali. Setelah sukses memenangkan Gubernur DKI, politik Islam bersiap-siap menyongsong Pilpres 2019. Banyak di antara pendukung Gubernur DKI terpilih kemarin yakin bahkan haqqul yaqin Jokowi adalah keturunan PKI.

Seperti pola di belahan dunia lain pada masa lalu, isu Pilpres 2019 adalah Islam lawan komunisme. Sekarang baru pemanasan.

Lantas siapa yang dianggap representasi Islam? Siapa yang dianggap wakil PKI?

Dalam politik, wakil Islam tidak harus mengerti Islam. Yang penting, dia mendengungkan aspirasi kelompok Islam. NU adalah pelaku sejarah yang tidak akan mengikuti agenda seperti ini.

NU cinta NKRI, cinta Islam, dan cinta Indonesia, tutup Kholid.

Hasil survei
Survei yang dilakukan lembaga penelitian Saiful Mujani Research anda Consulting (SMRC) juga menyatakan mayoritas warga tidak percaya komunisme bangkit.

Survei ini dilakukan terhadap 1.057 responden melalui wawancara tatap muka, dengan margin error 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut SMRC, 86,8 persen responden atau hampir semua warga tidak setuju bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI di Tanah Air.

Warga yang menyatakan setuju bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI hanya 12,6 persen responden.

Sedangkan yang yakin kebangkitan PKI telah mengancam negara hanya sekitar lima persen dari populasi dewasa nasional.

SMRC mencermati opini masyarakat tentang ada kebangkitan PKI cukup beririsan dengan pendukung Prabowo, dan dengan beberapa pendukung partai politik, terutama PKS dan Gerindra.

Di samping itu, opini tentang kebangkitan PKI cenderung lebih banyak di kalangan muda, perkotaan, terpelajar, dan sejumlah daerah tertentu, terutama Banten, Sumatera, dan Jawa Barat.

Semua demografi ini beririsan dengan pendukung Prabowo. Harusnya yang lebih tahu bahwa sekarang sedang terjadi kebangkitan PKI lebih banyak di kalangan warga yang lebih senior sebab mereka lebih dekat masanya dengan masa PKI hadir di pentas politik nasional (1945-1966) dibanding warga yang lebih junior (produk masa reformasi).

Hal itu menunjukkan bahwa opini kebangkitan PKI di tengah masyarakat tidak terjadi secara alamiah, tetapi hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu, terutama pendukung Prabowo, mesin politik PKS dan Gerindra.

Bila keyakinan adanya kebangkitan PKI itu alamiah, keyakinan itu akan ditemukan secara proporsional di pendukung Prabowo maupun Jokowi, di PKS, Gerinda, dan partai-partai lain juga.

Gejala hasil mobilisasi itu juga terlihat pada warga yang cenderung punya akses ke media massa, terutama media sosial.

Di bagian lain, secara politik, isu kebangkitan PKI tidak penting karena tak dirasakan adanya oleh hampir semua warga.

Isu kebangkitan PKI yang ditujukan untuk memperlemah dukungan rakyat pada Jokowi tampaknya bukan pilihan isu stategis yang berpengaruh.

Oleh Rangga Jingga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017