Negara (ANTARA News) - Pengungsi akibat aktivitas vulkanik Gunung Agung di Bali diimbau untuk menyaring informasi, agar tidak gampang panik, kata Bupati Jembrana I Putu Artha.
"Gunakan informasi yang bersumber dari institusi resmi pemerintah, itu lebih bisa dipertanggungjawabkan. Jangan asal mengambil kesimpulan saat mendapatkan informasi dari sumber yang tidak jelas, karena bisa membuat panik diri sendiri," ujarnya saat mengunjungi dua rumah warga yang menampung pengungsi di Kelurahan Loloan Timur, Jumat.
Ia mengatakan, dalam kondisi menunggu situasi Gunung Agung, para pengungsi cenderung mencari informasi perkembangan terkini, tanpa melihat asal usul sumber yang menyatakan hal tersebut.
Oleh karena itu, ia mengimbau, agar mendapatkan informasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pengungsi bisa mendatangi maupun mengakses informasi di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
"Kalau ada informasi dari pemerintah provinsi, kami akan sampaikan kepada pengungsi. Yang penting, sekarang para pengungsi ini bisa tenang di Jembrana," katanya.
Saat mendatangi rumah yang menampung pengungsi, ia mengecek KTP mereka untuk memastikan para pengungsi ini benar-benar warga yang terdampak aktivitas vulkanik Gunung Agung.
"Bukan apa-apa, kami antisipasi agar tidak ada orang yang memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dengan berpura-pura sebagai pengungsi. Selain itu, pengecekan KTP ini untuk pendataan jumlah dan asal usul bapak ibu sekalian," katanya.
Kepada Dinas Kesehatan serta Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga ia juga memerintahkan untuk memantau kesehatan pengungsi, serta pendidikan anak-anaknya selama berada di Kabupaten Jembrana.
Menurut dia, dari pantauannya, untuk kebutuhan pokok pengungsi seperti makan, minum dan tempat tinggal saat ini sudah tercukupi, sehingga yang dibutuhkan adalah pemeriksaan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anaknya.
Selain itu, ia mengatakan antisipasi pekerjaan bagi para pengungsi juga harus mulai dipikirkan, karena erupsi gunung berapi bisa berlangsung lama.
"Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun seperti Gunung Sinabung. Kalau dalam waktu yang lama, mereka pasti butuh pekerjaan yang mulai dari sekarang sudah kami pikirkan," katanya.
Untuk pekerjaan pengungsi, Pemkab Jembrana akan melakukan pendataan keterampilan yang mereka miliki, lalu disalurkan kepada pengusaha-pengusaha setempat.
Ia juga memotivasi pengungsi untuk tidak berputus asa meskipun jauh dari kampung halaman, apalagi mereka di Kabupaten Jembrana tinggal bersama keluarganya.
"Pemerintah dari segenap lapisan siap membantu mulai dari kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan bahkan tempat tinggal sementara," katanya.
Namun, ia juga mengimbau pengungsi yang tempat tinggalnya dinyatakan aman dari erupsi Gunung Agung, untuk tidak panik dengan meninggalkan kampung halaman.
"Pemerintah sudah menetapkan kawasan di sekitar Gunung Agung mulai dari level merah, kuning sampai hijau. Bagi yang desanya masih masuk level hijau, bisa pulang dulu sambil menunggu informasi lanjutan dari pemerintah," katanya.
Meskipun mengimbau pengungsi yang desanya tidak termasuk dalam kawasan level merah, ia menegaskan, jika mereka takut dan ingin tetap di Kabupaten Jembrana pihaknya menerima dengan senang hati.
Abdullah, salah seorang pengungsi yang tinggal di rumah Zulfahmi Akmal mengatakan, ia bersama keluarganya mengungsi karena trauma dengan letusan Gunung Agung tahun 1963.
"Waktu itu Desa Telagamas tempat kami tinggal terkena dampak langsung letusan, sehingga saat Gunung Agung dikatakan mau meletus, kami langsung mengungsi kesini," katanya.
Di rumah Zulfahmi Akmal menampung 13 orang pengungsi dengan empat diantaranya masih anak-anak yang seluruhnya berasal dari Desa Telagamas, Kecamatan Subagan, Kabupaten Karangasem.
Sementara itu, di rumah I Ketut Sudiana, awalnya menampung 9 orang, namun 3 diantaranya untuk sementara kembali ke rumah mereka di Dusun Pegubukan, Desa Duda, Kecamatan Selat.
Seluruh anak-anak pengungsi yang masih bersekolah, ditampung di sekolah-sekolah terdekat baik SD, SMP maupun SMA.
Pewarta: Gembong Ismadi
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017