"Force delisting itu adalah hukuman bagi emiten karena tidak memenuhi ketentuan sebagai perusahaan tercatat," ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat di Jakarta, Kamis.
Ia mengemukakan bahwa delisting merupakan penghapusan efek dari daftar efek yang tercatat di Bursa sehingga efek tersebut tidak dapat diperdagangkan di Bursa. Namun, status pemegang saham tetap sebagai pemegang saham perusahaan.
Samsul Hidayat menambahkan bahwa pihaknya juga sedang melakukan kajian terhadap emiten lainnya yang dinilai tidak memenuhi kewajibannya sebagai perusahaan tercatat di BEI.
"Namun, saya belum bisa kasih informasi itu karena kita dalam proses me-review secara seksama. Kita juga meminta komitmen emiten-emitennya, apakah mau memenuhi ketentuan atau tidak? Terutama mengenai ketentuan terkait keterbukaan informasi," paparnya.
Dalam peratuan BEI nomor I-I: tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham Di Bursa, disebutkan Bursa menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status Perusahaan Tercatat sebagai Perusahaan Terbuka, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Selain itu, juga disebutkan, saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.
Sementara itu tercatat, saham-saham yang telah disuspensi oleh BEI karena tidak memenuhi kewajiban kepada BEI diantaranya PT Bakrie Telecom Tbk dan PT Sekawan Intipratama Tbk, PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk, PT Berau Coal Energy Tbk, PT Permata Prima Sakti Tbk, PT SKYBEE Tbk, dan PT Garda Tujuh Buana Tbk.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017