Jakarta (ANTARA News) - Melindungi air Sungai Mekong telah menjadi isu utama dan menjadi perhatian egara anggota ASEAN.
Sungai Mekong dengan air berwarna cokelat kekuningan merupakan sungai terpanjang ke-12 di dunia dan terbesar ke-10 dalam volume. Air Sungai Mekong diketahui mengalir berliku sepanjang hampir 1900 kilometer dari Tibet dan melewati Provinsi Yunnan di China, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja dan bermuara di Vietnam.
Tata kelola yang berkelanjutan di Mekong sangat penting bagi pembangunan Komunitas ASEAN, mengingat bahwa lembah Sungai Mekong adalah jalur kehidupan. Sekitar 60 juta orang tinggal dan menggantungkan hidup dari hasil sungai, kata Jin-Hua Meng, pakar WWF kepada Deutsche Welle.
Berbagai kalangan di kawasan Asia Tenggara tertarik untuk mengetahui lebih jauh Sungai Mekong dan isu-isu di sekitarnya termasuk lingkungan hidup. Sungai adalah sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Indonesia, misalnya, menyelenggarakan sebuah lokakarya internasional pada Rabu (27/9) bertema "Pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan di Sungai Mekong (Sustainable water resource management in Mekong River)".
Cekungan Sungai Mekong adalah perikanan darat terbesar di dunia. Bendungan PLTA dan perubahan iklim mengancam mata pencaharian jutaan orang. Bendungan menurunkan keanekaragaman hayati sungai yang kaya, mengganggu siklus migrasi ikan, dan menjebak sedimen kaya nutrisi.
Pembangunan bendungan
Beberapa negara telah membangun sejumlah bendungan tenaga air di arus utama Sungai Mekong. Bendungan ini dapat mengakibatkan "domino" pembangunan sembilan bendungan yang diusulkan. Dikatakan bahwa "dalam perlombaan untuk mengembangkan tenaga air di Sungai Mekong, mereka yang akan kalah adalah masyarakat dan ekosistemnya. Ini adalah kerugian yang tidak dapat dimiliki wilayah ini".
Bendungan tersebut berdampak buruk pada Kamboja dan Vietnam, yang merupakan dua negara hilir. Delta Mekong Vietnam adalah rumah bagi 20 juta orang dan merupakan 90 persen ekspor beras Vietnam. Bendungan tersebut akan memiliki dampak serius pada keanekaragaman hayati dan ekosistem Danau Tonle Sap di Kamboja, yang merupakan lahan basah besar yang mendukung mata pencaharian sekitar dua juta orang, dimana 60 persennya terlibat dalam pertanian.
Bendungan itu mempengaruhi sektor perikanan di Cekungan Mekong yang lebih rendah, yang nilainya sekitar 17 miliar dolar AS per tahun, menyumbang tiga persen dari gabungan PDB Vietnam, Kamboja, Laos, dan Thailand. Ketahanan pangan di Delta Mekong akan sangat terpukul.
Subwilayah Mekong adalah daerah yang paling miskin dan paling rentan di Asia Tenggara. Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam adalah anggota ASEAN yang relatif baru dan kurang berkembang bila dibandingkan dengan anggota asosiasi lainnya. Kesenjangan pembangunan dan ketimpangan sosial ekonomi merupakan isu utama dalam pembangunan Komunitas ASEAN.
Mengembangkan subwilayah Mekong dan membantu negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dalam menangani dampak dan tantangan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan bendungan tenaga air sangat penting untuk integrasi regional yang inklusif.
Negara-negara di sekitar Mekong membutuhkan dukungan keuangan/ finansial dan teknis dari anggota ASEAN yang lebih maju, mitra dialog ASEAN, dan lembaga donor internasional lainnya.
Para pengamat berpendapat bahwa bendungan yang ada dan yang akan datang mengancam akan mengurangi stok ikan, mengurangi sedimen yang dibutuhkan untuk panen padi, mengubah kualitas dan kuantitas aliran air, dan mengakibatkan lonjakan yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan yang akan memiliki konsekuensi besar pada masyarakat di subwilayah Mekong.
Kekhawatiran ini tampaknya telah terlihat. Hasil panen ikan telah turun hingga 70 persen karena bendungan tenaga air dan bahwa sementara penduduk desa melaporkan mereka dapat menangkap lima sampai 10 kilogram ikan per hari 10 tahun lalu. Hasil tangkapan tersebut telah turun menjadi satu hingga dua kg sehari saat ini.
Pada saat bersamaan, perubahan aliran air akibat bendungan telah mempengaruhi hasil panen padi. Daerah yang dulunya kering di musim kemarau kini tergenang air secara permanen dan daerah yang dulunya tergenang di musim hujan tetap kering.
Bagi Delta Mekong Vietnam, yang bergantung pada banjir tahunan selama musim hujan untuk menyediakan sedimen kaya nutrisi untuk sawahnya, kekeringan yang tidak biasa seperti ini sangat menghancurkan.
Seorang pejabat Vietnam pernah mengatakan bahwa proyek pembangkit listrik tenaga air utama di Sungai Mekong telah mengakibatkan hilangnya 231 juta dolar dari makanan laut dan hasil pertanian ke Delta Mekong.
Mengingat sifat lintas batas dari masalah seputar keamanan sumber daya air di subwilayah Mekong, tidak mengherankan bahwa upaya telah dilakukan di tingkat regional untuk memastikan kerja sama yang lebih baik. Mekanisme regional yang paling menonjol adalah Perjanjian Mekong tahun 1995 yang membentuk Komisi Sungai Mekong (MRC).
MRC, bagaimanapun, tidak efektif mengelola sumber air lintas batas karena kurangnya kesepakatan yang mengikat secara hukum. Kritik juga telah dibuat terhadap Persetujuan Mekong tahun 1995 sendiri karena definisi istilah kunci yang tidak jelas seperti arus alami bulanan dan aliran balik minimum yang dapat diterima, dan untuk prosedur "notifikasi" terbatas yang diminta oleh negara-negara lain di wilayah sempadan (riparian) memberi tahu pihak lain tentang proyek pembangunan air.
Kesepakatan tersebut berarti bahwa pembangunan bendungan hulu di Laos tidak memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Kamboja meskipun hal tersebut mungkin berdampak negatif ke hilir.
Apa yang harus ASEAN lakukan?
Sejak tahun 1997, ASEAN telah mengakui kebutuhan untuk mengembangkan program konservasi air regional sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Hanoi. Demikian pula pada tahun 2003, para pejabat senior ASEAN mengenai lingkungan menerapkan Rencana Strategis Jangka Panjang ASEAN untuk Pengelolaan Sumber Daya Air, yang mengidentifikasi lima tantangan utama termasuk beralih ke pengelolaan wilayah sungai terpadu.
Kemudian pada tahun 2005, ASEAN menghasilkan Rencana Aksi Strategis ASEAN untuk Pengelolaan Sumber Daya Air. Mengakui pentingnya kerja sama yang lebih besar di antara negara-negara di subwilayah Mekong, pada tahun 2010 Sekretariat ASEAN mengumumkan pada satu upacara penandatanganan di Hua Hin, Thailand, sebuah kesepakatan kemitraan dengan MRC "dalam pengembangan dan pengelolaan sumber air Mekong".
Terlepas dari semua upaya tersebut, perlu dicatat bahwa hasil kemitraan kelembagaan antara ASEAN dan MRC "terbatas" karena kurangnya kemauan politik, kepemimpinan dan mobilisasi sumber daya.
Pada upacara penandatanganan tahun 2010, Sekretaris Jenderal ASEAN tidak hadir tapi diwakili oleh Direktur Direktorat Keuangan dan Infrastruktur Sekretariat ASEAN. Selain itu, dalam cetak biru Visi Komunitas ASEAN 2025 jarang menyebutkan keamanan sumber daya air.
Memang istilah "sumber air" hanya ditemukan sekali di cetak biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN 2025. Membatasi sumber daya air ke pilar sosial budaya sangat berbeda dengan negara-negara di sempadan yang mengidentifikasinya sebagai masalah keamanan nasional.
Satu pusat kajian Kamboja berpendapat bahwa "keamanan negara nasional terkait erat dengan penggunaan dan pengelolaan air, dan stabilitas Kamboja sebagai negara dapat dengan cara ini terganggu oleh faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketidakamanan air". Dalam pengertian ini, dipertanyakan mengapa isu tersebut tidak termasuk dalam cetak biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN 2025.
Dengan demikian, sementara upaya regional untuk memastikan keamanan sumber daya air di Delta Mekong telah dibuat, mereka jelas belum cukup jauh untuk berbuat.
Perhatian yang lebih perlu diberikan untuk keamanan sumber daya air di subwilayah Mekong dan harus diakui oleh ASEAN sebagai isu yang menjadi perhatian penting kawasan ini, karena memiliki implikasi yang melampaui batas negara-negara tersebut, dan ini adalah isu lintas-pilar yang tidak bisa terbatas pada wilayah sosio-kultural.
Kehidupan sekitar 60 juta warga ASEAN khususnya yang berada di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam bergantung padanya. Sesuai dengan kesepakatan yang dicapai tahun 1995, keempat negara tersebut setuju untuk memanfaatkan potensi ekonomi Sungai Mekong secara bersama dan mengelola sumber daya sungai dengan musyawarah bersama.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017