Dhaka, Bangladesh (ANTARA News) - Pada mulanya mulus-mulus saja saat pesawat A320 milik AirAsia yang datang terlambat 30 menit dari jadwal seharusnya, membawa ANTARA News dan penumpang lainnya dari Bandara Soekarno-Hatta ke Kuala Lumpur, Selasa 26 September lalu.
Namun begitu ANTARA News berada di konter pemeriksaan tiket menuju Dhaka, Bangladesh, di Bandara Kuala Lumpur, Salim, penyelia pada maskapai Biman Bangladesh Airlines, menyatakan ANTARA News tak bisa melanjutkan perjalanan ke Dhaka.
"Anda tak boleh terbang ke Dhaka karena Anda tak membawa tiket pulang," kata Salim, dua setengah jam sebelum pesawat Biman Bangladesh terbang ke Hazrat Shahjalal International Airport di Dhaka, Rabu 27 September dini hari itu.
Untuk bisa masuk negara lain dalam status visa single entry seperti dipegang ANTARA News, orang memang harus menyertakan dua tiket pasti; datang dan pulang.
"Peraturan ini berlaku untuk semua orang dari negara mana pun," kata Salim, padahal sekitar dua menit sebelumnya dia keceplosan mengembeli kalimat, "khususnya dari Indonesia".
Seorang pria Malaysia menawarkan diri mencarikan tiket kembali Dhaka-Kuala Lumpur untuk ANTARA News, namun beberapa menit kemudian pria ini menyerah, "Maaf cik, Anda harus mencarinya besok. Malam ini semua agen tak bisa saya hubungi."
Bayangan akan rusaknya rencana untuk tiba sesuai jadwal di Dhaka demi melanjutkan penerbangan ke Cox's Bazar (baca: koksis bazar) guna memotret langsung pengungsi Rohingya di Bangladesh, seketika muncul dalam benak.
Awalnya Salim bersikukuh tak mau "dilobi", tetapi begitu ANTARA News dengan setengah putus asa meyakinkan dia bahwa ANTARA News datang demi mengabarkan krisis kemanusiaan di daerah perbatasan Bangladesh-Myanmar sampai-sampai duta besar mereka di Jakarta rela mewawancarai sendiri ANTARA News guna mendapatkan visa Bangladesh dua pekan lalu, ANTARA News akhirnya diizinkan terbang ke Dhaka.
"Oke, kalian boleh pergi, tetapi pastikan kalian sudah punya tiket pulang sebelum keluar dari pemeriksaan imigrasi Dhaka," kata seorang manajer Biman Bangladesh, yang kemudian diamini Salim.
Pagi pukul 05.00 waktu Bangladesh, Rabu kemarin, ANTARA News akhirnya tiba di bandara utama negara yang sebelum 1971 pernah bernama Pakistan Timur itu.
Sesak
Sempat ditanyai agak lama karena masalah "tujuan" kunjungan ke Bangladesh oleh para petugas imigrasi berbadan tegap nan kekar namun kemudian ternyata sangat bersahabat, ANTARA News keluar dari kompleks bandara. Tentu saja dengan sudah mengantungi tiket pulang dari Dhaka.
Begitu keluar, para penjaja "taksi" --tentu saja bukan taksi seperti dikenal di Indonesia-- telah menunggu untuk menawarkan jasa mereka. Tanpa menyampaikan bahasa tubuh yang mengganggu, termasuk dalam hal tarif, seorang dari mereka mengantarkan ANTARA News ke sebuah hotel tak jauh dari bandara.
Sejak di luar kompleks bandara, sampai tiba di hotel, ibu kota Bangladesh ini terlihat sangat disesaki manusia.
Dulu dinamai Dacca namun kemudian dilokalkan dalam lafal Bahasa Bengali seperti saat ini dikenal sejak 1983, Dhaka pernah menyandang salah satu kota paling makmur di dunia pada abad pertengahan.
Waktu itu Dhaka adalah ibu kota Provinsi Bengal dalam Kesultanan Mughal yang berkuasa di seluruh anak benua India sampai Inggris mengkolonisasi wilayah itu pada abad 19.
Kini, Dhaka adalah salah satu kota terpadat di dunia, tepatnya yang keempat paling padat.
Lebih dari 10 juta orang tinggal di kota yang menjadi pusat politik, ekonomi dan budaya Bangladesh ini, sekaligus pusat keuangan utama negara-negara kawasan Asia Selatan.
Luas seluruh wilayahnya hanya setengah luas Jakarta, padahal jumlah penduduknya hampir sama, sekitar 10 juta. Dakha memiliki luas wilayah 306 km persegi, sedangkan Jakarta 661 km persegi.
Dengan luas separuh dari Jakarta tetapi jumlah penduduk yang sama seperti itu, sudah pasti Dakha jauh lebih disesaki manusia ketimbang Jakarta.
Suasana sesak bahkan terasa di mana-mana, termasuk di jalan raya, kendati jalan raya di kota ini umumnya lebar, lebih lebar dari umumnya jalan-jalan raya di Jakarta.
Tetapi, panas, berdebu, dan sesak, telah membuat warga kota ini seperti diburu waktu untuk segera menjauhi tiga keadaan itu.
Aura itu sangat terasa di jalan raya. Serempet kanan, serempet kiri, salip kanan, salip kiri, terjadi di mana saja di hampir semua jalan di kota ini.
"Zigzag setiap hari, semua orang zigzag, di jalan mana saja," kata Mohammad Ali, pengendara Toyoto Soluna yang ANTARA News sewa untuk menyusuri kota klasik bersentuhan dua kerajaan besar dunia itu; Mughal dan Inggris.
Meski begitu, hanya klakson yang bersahutan tak pernah berhenti. Jarang sekali ada ekspresi kemarahan, apalagi kendaraan berhenti hanya untuk menghardik, mengumpat atau mengajak adu fisik pengendara lain ketika kendaraan diserempet seperti kadang-kadang terjadi di Jakarta.
Penolong
Hampir seluruh pengendara di Dhaka ugal-ugalan di jalan raya. Entah motor, mobil pribadi, sampai bus-bus besar tua yang umumnya sudah layak dikandangkan. Bahkan terhadap para penyeberang jalan, para pengendara kendaraan di Dhaka tak ada sopan-sopannya.
Ironisnya jarang sekali orang mengeluarkan umpatan, sekalipun nyawa mereka nyaris terenggut gara-gara hampir ditabrak.
Umumnya orang Bangladesh memang seperti itu. Fisik mereka terlihat seperti orang galak, tetapi rata-rata mereka ternyata penolong, yang dalam beberapa hal malah terlalu pemurah.
Saking pemurahnya, apabila Anda membeli makanan di kota ini, porsi makanan yang dipesan pun melebihi daya tampung perut umumnya orang Indonesia.
"Separuh saja ya," kata Akbar Nugroho Gumay, fotografer yang sama-sama dari LKBN Antara, kepada Bahadur Rahman, pemilik restoran kecil yang salah satunya menjajakan nasi kari yang dipesan Antara, Rabu malam itu.
Tak dinyana, ukuran separuh itu setara dengan tiga piring di Indonesia. Agak sulit dipercaya memang, melihat orang Bangladesh yang negerinya umum diketahui sebagai negara termiskin di dunia ternyata mempunyai kebiasaan cukup royal dalam soal makanan.
Tetapi mereka juga cukup royal dalam membantu orang, bahkan orang asing seperti Antara, apalagi kepada kaum tertindas seperti Rohingya yang menjadi alasan utama Antara datang ke Bangladesh.
"Kami aktif membantu pengungsi Rohingya tanpa diketahui oleh sekeliling kami, termasuk pemerintah. Kami kumpulkan uang, lalu kirim langsung ke orang-orang Rohingya," kata Muhammad Ahmad Laska, manajer hotel di mana ANTARA News menginap.
Sebagai sesama Bengali dan mayoritas muslim seperti Rohingya, orang-orang Bangladesh juga mempunyai pandangan umum yang jelas sangat bersimpati kepada Rohingya.
Oleh karena itu mereka bangga negaranya membantu Rohingya, sebaliknya melihat Myanmar dalam perspektif yang lebih buruk.
"Bangladesh baik, Myanmar jahat," kata Saiful Islam, pemilik toko ponsel di kawasan Eastern Plaza di pusat kota Dakha.
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017