"Sanksi baru itu tidak efektif karena mengabaikan akar persoalan," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, dalam jumpa pers di Jakarta pada Rabu.
Pada dua pekan lalu, Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sejumlah sanksi baru kepada Pyongyang, di antaranya melarang negara anggota mengimpor produk tekstil dari Korut --yang menjadi komoditas ekspor terbesar kedua setelah batu bara-- dan menetapkan batasan impor energi untuk negara itu.
Kedua sanksi ekonomi itu melengkapi kebijakan Dewan Keamanan sebelumnya, yang menyasar ekspor batu bara dari Korut.
Namun, negara pimpinan Kim Jong-un itu tidak bergeming dan bersikeras akan tetap melanjutkan program persenjataan nuklir dan mengembangkan peluru kendali antarbenua, yang bisa menyasar daratan Amerika Serikat.
"Korea Utara bersikeras melanjutkan program persenjataan mereka karena merasa terancam ekistensinya. Inilah akar persoalan yang diabaikan oleh Dewan Keamanan," kata Galuzin.
Galuzin menjelaskan bahwa latihan militer tahunan yang digelar bersama antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat adalah ancaman terbesar bagi Pyongyang yang membuat mereka merasa perlu untuk membikin senjata nuklir.
Selain itu, Amerika Serikat juga punya kehadiran militer yang sangat besar di beberapa negara tetangga Korut. Di Jepang, mereka menempatkan sekitar 40.000 tentara, sementara di Korsel ada sekitar 35.000 personil.
"Keadaan ini membuat Korea Utara merasa terancam, terutama setelah mereka melihat apa yang terjadi pada Saddam Hussein di Irak atau Muammar Gaddafi di Libya," kata Galuzin merujuk pada serbuan militer Amerika Serikat ke dua negara tersebut, yang membuat Saddam dan Gaddafi terguling.
Rusia mengusulkan masing-masing pihak, yang terlibat dalam kemelut di Semenanjung Korea, menghentikan provokasi, termasuk di antaranya membubarkan pelatihan militer tahunan Amerika Serikat dengan Korsel.
Pewarta: GM Nur Lintang Muhammad
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017