Jakarta (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Dr Laksanto Utomo mengingatkan agar para pejabat negara dalam berpendapat memerhatikan etika politik, hal ini supaya apa yang disampaikan tidak membuat kegaduahan di masyarakat.
Ini karena informasi yang bersifat rahasia-pun sekarang mudah sekali beredar, kata Dr Laksanto Utomo di Jakarta, Selasa.
Para pejabat negara saat ini tampaknya belum sepenuhnya memahami etika politik dalam berbangsa dan bernegara, sehingga masih banyak pejabat yang sering "nyelonong" beropini sendiri tanpa melakukan koordinasi antar-lembaga, katanya.
"Etika politik berbangsa dan bernegara bagi para pejabat negara tersebut sudah dituangkan dan diatur dalam Tap MPR No 6 Tahun 2001, namun sayangnya, tidak semua pejabat negara mengindahkan aturan itu sehingga membuat masyarakat menjadi bingung, dan berpolemik," ujarnya.
Pendapat itu disampaikan, mengomentari pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, pada pertemuan dengan Purnawirawan TNI di Cilangkap belum lama ini yang menyampaikan soal pengadaan senjata oleh pihak non-militer sekitar 500 s/d 5.000 pucuk senjata yang tidak melalui koordinasi dengan Cilangkap.
Menurut Laksanto, para pejabat negara seyogianya mengerti tentang etika politik, karena aturan itu dibuat guna menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial, bukan sebaliknya saling curiga satu kelompok dengan kelompok lainnya hingga memicu kegaduhan di masyarakat.
Menjadi seorang pejabat negara memang tidak mudah, katanya, ia harus berpikir untuk kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan. Itulah sebabnya, etika politik ditetapkan sebagai TAP MPR yang kemudian ditindaklanjuti dengan ketentuan lain seperti Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementeian yang semuanya di bawah kendali Presiden.
"Pernyataan Panglima soal adanya rencana pembelian senjata non militer seyogianya disampaikan dalam rapat pimpinan terbatas. Idealnya Presiden yang harus memimpin terhadap isu krusial itu," katanya.
Ketika menjawab pertanyaan, Laksanto Utomo yang juga Dosen Pasca-Sarjana Universitas Pancasila Jakarta mengatakan, seandainya ada lembaga yang membutuhkan ribuan senjata diluar standar TNI, sebaiknya membeli dan mengoptimalkan produk dalam negeri.
Produk senjata dari Pindad Bandung, sudah diminati negara kawasan ASEAN seperti Thailand, Filipina, Singapura dan negara lainnya. Bahkan Timur Tengah sudah membeli produk Indonesia/Pindad, termasuk juga pelurunya diproduksi Pindad Malang.
"Oleh karenanya, jika ada instansi lain yang butuh senjata sejenis senapan laras panjang dan pendek, mengutamakan produk dalam negeri. Jika kita tak lagi menghargai produknya sendiri, jangan berharap orang lain akan meminatinya," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin dari PDI-P mengatakan, seorang pejabat negara seharusnya memahami prosedur dan etika penyampaian informasi, apalagi yang disampaikan merupakan data intelijen. "Gatot seharusnya tidak mengumbar data intelijen selain kepada institusi yang berhak menerimanya agar tidak membuat kegaduhan politik dalam negeri," katanya.
Hasanuddin menambahkan, jika Gatot merasa kesulitan, ia bisa langsung menyampaikannya kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan agar segera dikoordinasikan kepada institusi terkait. Bahkan, Panglima memiliki akses langsung untuk berkomunikasi dengan Presiden selaku panglima perang tertinggi.
"Pasti Presiden akan melakukan upaya. Melempar informasi yang notabene itu dianggap informasi yang sensitif, saya sebut saja kepada publik, itu menurut saya tidak pada tempatnya. Sebaiknya dihindari," kata Hasanuddin, di Senayan, Jakarta, pekan lalu.
(T.Y005/T007)
Pewarta: Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017