Jakarta (ANTARA News) - Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK menolak konsep single mux dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran karena berpotensi menciptakan praktik monopoli.
"Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dlakukan oleh lembaga yang dimiliki oleh Pemerintah," kata Ishadi dalam keterangan pers, Senin.
Dalam konsep single mux, frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh satu operator, yaitu Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI).
Konsep tersebut dianggap menunjukkan keberadaan posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah dan berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
Ishadi menegaskan bahwa konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Hal ini karena akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian akibat frekuensi yang menjadi roh penyiaran sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak. Selain itu, terjadi pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun serta dikhawatirkan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.
Saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia, kata Ishadi.
Di kedua negara tersebut, market share TV FTA (televisi terrestrial tidak berbayar) hanya 10 persen dan 30 persen, sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH.
Di Indonesia justru market shares TV FTA sebesar 90 persen sedangkan sisanya 10 persen adalah TV Kabel.
Ia menilai konsep single mux yang dipakai Malaysia menimbulkan masalah, seperti tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi, termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal.
"Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran," kata Ishadi.
ATVSI mengatakan sudah melakukan road show pada sejumlah partai politik untuk menjelaskan usulan alternatif mereka.
Dalam road show itu, ATVSI kembali menegaskan pentingnya pelayanan kepada masyarakat baik secara teknis dan juga konten program dimana keduannya akan terus ditingkatkan dan diperbaiki. Ishadi menambahkan, pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat, sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017