Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 130 anggota DPR dari berbagai fraksi mengajukan penggunaan hak interpelasi dalam kasus luapan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Usul hak interpelasi itu diajukan kepada Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis. Sebanyak 130 anggota DPR pengusul termasuk di dalamnya Soetardjo Soerjogoeritno (FPDIP). Pengusul lainnya antara lain Yuddy Chrisnandy (Partai Golkar), Abdullah Azwar Anas (FPKB), Ade Nasution (PBR), Ario Widjanarko dan Iman Soeroso (FPDIP), Djoko Susilo (FPAN), dan Yakobus Mayongpadang (FPDIP). Tak ada satupun anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) yang memberi dukungan atas usulan tersebut. Usul hak interplasi luapan lumpur Lapindo ini diajukan di tengah polemik mengenai perlu-tidaknya Presiden hadir langsung memberi jawaban hak interpelasi kepada DPR terkait hak interpelasi mengenai Resolusi dewan Kemanan (DK) PBB terkait nuklir Iran. Soetardjo Soerjogoeritno (sering dipanggil Mbah Tardjo) yang menerima usul hak intrpelasi ini mengemukakan akan meneruskan pembahasan sesuai mekanisme di DPR. Dari segi Tata Tertib, jumlah pengusul yang mencapai 130 orag sudah jauh melebihi persyaratan minimal yang hanya mensyaratkan 13 anggota. Artinya pendukung hak interpelasi ini 10 kali lipat dari persyaratan minimal. Jumlah pengusul sebanyak 130 orang juga termasuk jumlah pendukung interpelasi terbanyak setelah interpelasi sebelumnya, yaitu hak interpelasi terkait dukungan pemerintah Indonesia terhadap Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.1747 terkait pengembangan nuklir Iran yang didukung 285 anggota. Mbah Tardjo berharap Presiden bersedia hadir langsung ke DPR untuk menyampaikan jawaban pemerintah terkait hak interpelasi luapan lumpur. "Ini hanya minta penjelasan pemerintah. Jangan takut dengan DPR. Jangan diwakilkan lagi," katanya. Menurut Mbah Tardjo, pengajuan hak interplasi ini penting untuk mendorong penyelesaian luapan lumpur yang tidak ada perkembangan signifikan, padahal kasus ini sudah setahun. Akibatnya, korban semakin menderita. Para pengusul menjelaskan bahwa banjir lumpur di Porong, Sidoarjo, Jatim, yang sudah setahun berlangsung telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa lebih atau 3.500 kepala keluarga (KK). Mereka yang berasal dari 11 desa terpaksa harus menjadi pengungsi. Seluas sekitar 350 hektare lahan pertanian terendam lumpur serta 23 bangunan sekolah dan setidaknya 20 perusahaa harus ditutup, sebanyak 30 persen korban lumpur mengalami gangguan jiwa. Gangguan lumpur itu telah menganggu perekonomian di Jawa Timur. Kerugian akibat luapan lumpur sejak setahun terakhir sekitar Rp7,6 triliun. Pemerintah sampai saat ini tidak jelas dalam mengambil tindakan hukum kepada PT Lapindo Brantas Inc. Perusahaan ini diduga telah bertindak lalai, sehingga mengakibatkan penderitaan rakyat. Pemerintah harus bertindak tegas untuk menjamin kepastian hukum bagi korban luapan lumpur. Berdasarkan hal itu, pengusul hak interpelasi ini mempertanyakan bagaimana tanggungjawab pemerintah secara lintas sektoral di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten untuk melindungi hak masyarakat yang telah tercerabut akibat lumpur Lapindo. Siapa yang sesungguhnya bertanggungjawab atas meluapnya lumpur di wilayah Sidoarjo. Pemerintah pernah melakukan penyelidikan, tetapi sampai sekarang tidak ada kejelasannya. "Apakah pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan mengelola negara ini, sehingga 21 ribu jiwa rakyat yang seharusnya mendapat perlindungan terlunta-lunta," kata para penggagas. (*)

Copyright © ANTARA 2007