Yogyakarta (ANTARA) - Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sri Adiningsih, mengatakan Bank Indonesia (BI) semakin memiliki ruang gerak yang luas untuk menurunkan tingkat suku bunga, karena tekanan inflasi Indonesia berkurang.
"Meski demikian, jangan sampai penurunan tingkat suku bunga tersebut 'keblablasan', hingga membuat investor merasa tidak lagi diuntungkan," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, penurunan tingkat suku bunga BI harus dilakukan secara konservatif untuk mencegah terjadinya arus balik yang merugikan.
Ketika tingkat suku bunga dianggap tidak menguntungkan lagi, maka perlu diwaspadai terjadinya arus balik dana jangka pendek yang saat ini jumlahnya masih sangat besar.
Arus balik yang besar dan terjadi secara bersamaan akan mengakibatkan instabilitas perekonomian yang berakibat pada semakin besarnya "cost" yang harus dikeluarkan, kata dia.
Menurut dia, tingkat suku bunga pada level 8,5 persen masih bisa ditolerir.
Meski demikian, ia mengatakan agar BI hati-hati dalam penurunan tingkat suku bunga ini, terutama pada bulan-bulan yang akan datang.
"Pada bulan-bulan ini tekanan inflasi masih rendah, karena merupakan masa anak-anak masuk sekolah, sehingga tidak banyak permintaan barang dan jasa yang terjadi," katanya.
Tetapi pada bulan-bulan mendatang, terutama pada bulan menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, tekanan inflasi cenderung naik.
Ia mengatakan, "capital inflow" di Indonesia saat ini masih besar jumlahnya.
"Keadaan akan semakin bagus jika terjadi 'capital outflow' dana jangka pendek secara perlahan-lahan," katanya.
Namun jika 'capital outflow' terjadi secara mendadak dan besar, stabilitas yang selama ini dijaga akan rusak.
Kerugian yang diperoleh karena banyaknya "capital inflow" adalah semakin besarnya keuntungan yang didapat oleh pemodal asing, katanya, selain itu Indonesia justru memberikan subsidi bagi para pemodal asing tersebut.
Sehingga harus dijaga agar dana jangka pendek ini keluar pelan-pelan, namun tetap ada investasi yang masuk, katanya.
Adiningsih menambahkan dampak menguatnya nilai rupiah telah dirasakan oleh para eksportir.
Mereka mengalami kesulitan karena barang ekspor semakin mahal dan barang dari luar negeri semakin murah.
"Barang-barang China yang masuk ke Indonesia harganya murah sekali, dan itu merupakan ancaman serius bagi dunia usaha Indonesia," kata Adiningsih. (*)
Copyright © ANTARA 2007