Jakarta (ANTARA News) - Kelompok Pelangi, yang terdiri atas politisi dan mantan petinggi militer, mengharapkan amandemen yang kelima kalinya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 jangan terburu-buru dilakukan, hingga merusak tatanan negara yang telah mapan.
"Urgensi pelaksanaan amendemen kelima UUD 1945 belum ada, jadi ada baiknya pemerintah meninjau ulang hasil amendemen satu hingga empat, sebagai rujukan bagi perubahan kelima UUD 1945," kata salah seorang petinggi militer yang hadir, Letnan Jenderal (pur) Kiki Syahnakri, di Jakarta, Rabu.
Ditemui usai mengikuti pertemuan rutin kelompok yang digagas, antara lain oleh Sys NS, Yasril Ananta dan Suadi Marasabesi itu, Kiki yang mantan Wakil Kepala Staf TNI-Angkatan Darat (Wakasad) mengatakan, sumber dari segala persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa salah satunya adalah perubahan terhadap UUD 1945.
Perubahan yang dilakukan hingga tahap keempat, tidak mencerminkan tujuan dan arah bangsa ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945. "Karena itu, sebelum melakukan perubahan kelima ada baiknya pemerintah `mereview` kembali hasil amendemen kesatu hingga keempat," ujarnya kepada ANTARA News.
Sebelum dilakukan perubahan, hendaknya sudah ditetapkan siapa yang melakukan perubahan sehingga amendemen tersebut benar-benar menjadi landasan konstitusi bagi negara ini sesuai pembukaan UUD 1945, katanya.
"Jangan sampai perubahan yang dilakukan, mengarah pada terbentuknya negara federal. Secara subtansi otonomi daerah tidak salah, namun implementasinyamasih melenceng dan cenderung kebablasan dari cita-cita negara kesatuan, seperti yang diamanatkan UUD 1945," ujar Kiki.
Ia mengatakan, kaji ulang terhadap hasil amendemen pertama hingga keempat itu bukan berarti kembali sepenuhnya kepada UUD 1945.
Pertemuan Kelompok Pelangi itu dihadiri beberapa mantan petinggi militer, antara lain mantan Kepala Staf TNI-Angkatan Laut (Kasal) Laksamana (pur) Bernard Kent Sondkah, dan mantan Kepala Staf TNI-Aggkatan Darat (Kasad) Jenderal (pur) Ryamizard Ryacudu. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007