Bogor (ANTARA News) - Pertemuan sejumlah tokoh sipil dan militer di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar), yang berlangsung sejak Rabu sore hingga menjelang malam, hanya bertujuan untuk apa yang disebut "menginventarisir masalah bangsa". "Pertemuan itu (hanya) untuk menginventarisasi berbagai persoalan bangsa dan berusaha memecahkankannya untuk disumbangkan pada bangsa," kata Yasril Ananta Baharuddin, salah satu Ketua DPP Golkar, yang menjadi tuan rumah pertemuan itu. "Jadi, pertemuan ini tidak ada tujuan politik untuk meraih kekuasaan," tambahnya. Dikemukakannya bahwa pertemuan tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan pertama, yang pernah dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 2007, dimana saat itu dilakukan berbarengan dengan detik-detik reshuffle kabinet "jilid II" oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan itu, sejumlah tokoh yang hadir adalah Sys NS mantan pendiri Partai Demokrat (PD) yang kini mendirikan Partai NKRI, mantan Kasad Jenderal TNI (Pur) Ryamizard Ryacudu, mantan tokoh PDIP Dimyati Hartono, Solahudin "Gus Solah" Wahid, HS Dilon, serta mantan Wakil Kepala Staf TNI-AD (Wakasad) Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakrie. Menurut dia, pertemuan ini digagas oleh beberapa tokoh di antaranya Bambang Sulastomo, putra pahlawan nasional Bung Tomo, Sys NS, Untung Yani, putra pahlawan nasional Jenderal Ahmad Yani dan putri mantan Wapres Bung Hatta, yakni Halida Hatta, dan beberapa lainnya seperti Yakob, Maria, Adhie Massardi, serta artis Ray Sahetapy. Gagasan yang dibahas dalam pertemuan kedua ini di antaranya tentang Politik dan Hankam sosial-budaya, politik-ekonomi yang sedang berlangsung di Tanah Air. "Hasil pembahasan (dalam pertemuan) ini akan dibuat berupa buku kecil yang berisi tentang solusi permasalahan bangsa untuk diserahkan ke pemerintah dan masyarakat umum pada tanggal 7 Juli 2007 nanti," kata Yasril Ananta Baharudin. Salah satu tokoh militer yang dua kali diundang dalam pertemuan itu, yakni mantan Wakasad Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakrie dalam perbincangan dengan ANTARA News usai pertemuan pertama awal Mei 2007 lalu memastikan tidak ada agenda sedikit pun yang berkaitan dengan tekanan politik pada pemerintah. "Agenda utama yang menonjol dalam pertemuan di Sentul itu adalah bicara soal `sistem kenegaraan`. Sama sekali tidak bersentuhan dengan tekanan politik pada pemerintah," katanya. Ketika ditanya lebih rinci mengenai agenda membicarakan "sistem kenegaraan", ia mengemukakan bahwa secara umum yang disorot adalah bila sistem kenegaraan yang dianut masih seperti sekarang, yakni setelah hasil amendemen UUD 1945, "Siapapun presidennya, dan pemimpin lain di bawahnya seperti gubernur, bupati/walikota akan mengalami kesulitan", sehingga perlu adanya perbaikan. "Namun, saya sepakat bahwa amendemen (baru) mestinya dilakukan setelah Pemilu 2009," kata mantan Pangdam IX/Udayana itu, yang juga diminta forum pertemuan itu untuk memberikan paparan pemikirannya. Ancaman liberalisme Ia juga menyampaikan bahwa kini yang terjadi, setelah amendemen UUD 1945 bidang ekonomi juga telah mengubah sistem ekonomi kekeluargaan menjadi ekonomi liberal, dimana hal itu mengancam para pelaku ekonomi di tingkat bawah. Menurut Kiki Syahnakrie, yang saat ini menjabat Komisaris Utama kelompok usaha Artha Graha itu, dilepasnya sejumlah badan usaha strategis milik bangsa seperti Indosat, hadirnya raksasa retail dunia seperti Carrefour dan kelompok sejenis lainnya, jelas menggambarkan bahwa liberalisasi ekonomi semacam itu adalah mengancam kemandirian bangsa. "Untuk dunia perbankan, tinggal berapa bank-bank swasta yang tidak dimiliki asing," katanya. Melihat kondisi semacam itu, kata dia, maka forum itu kemudian mengagendakan pertemuan itu dapat dilakukan secara berkesinambungan, dengan agenda yang lebih rinci, seperti mengejawantahkannya dengan semacam kertas kerja yang bisa dibahas secara ilmiah dan akademik.(*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007