Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menilai mayoritas petani usaha rumah tangga masih mengandalkan modal kredit dari lembaga keuangan nonbank.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Yeni Saptia di Jakarta, Jumat, memaparkan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, mayoritas petani tersebut yang sekitar 52 persen, masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan lembaga keuangan nonbank lainnya.
"Bank belum tertarik menyalurkan kredit ke sektor pertanian. Hanya sekitar 15 persen petani yang mengakses kredit bank, sedangkan mayoritas 52 persen mengandalkan nonbank," katanya.
Sekitar 33 persen petani lainnya mengandalkan kredit Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan kredit usaha rakyat (KUR).
Yeni menjelaskan bahwa masalah utama yang dihadapi untuk mendorong peningkatan prodiktivitas pangan adalah terbatasnya akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan, terutama dari lembaga keuangan formal.
Menurut dia, ada empat faktor pemasalahan program kredit melalui perbankan di sektor pertanian, yakni pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko dari "moral hazard".
Keempat faktor tersebut membuat kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank menjadi tinggi, target tidak terpenuhi, dan pemberian kredit tidak berkelanjutan.
Sementara itu, umumnya petani yang sudah mengakses kredit perbankan memiliki agunan atau jaminan aset.
Kemudian, ada juga ketua Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) yang bersedia menjaminkan asetnya agar anggota petani dapat mendapatkan modal.
"Ada ketua Gapoktan yang menjamin dari asetnya sehingga bisa mengakses kredit, tetapi atas namanya kan satu, sementara petani-petani rumah tangga kita banyak yang belum akses kredit karena tidak memiliki jaminan," ungkapnya.
Berdasarkan subsektornya, tanaman tebu lebih banyak mendapatkan akses kredit, sedangkan tanaman pangan baru sekitar 1,7 persen.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017