Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Wimboh Santoso mengatakan penerapan biaya isi saldo untuk uang elektronik (e-Money) harus dilakukan secara terukur dan tidak boleh dilaksanakan sembarangan.
"Bank mencari profit harus terukur, makanya dia kalau memberikan fee, tidak boleh sembarangan," kata Wimboh saat ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat.
Wimboh mengatakan idealnya penerapan biaya isi saldo untuk e-Money ini ditentukan oleh industri perbankan agar pelaksanaan gerakan non tunai dapat berlangsung sesuai mekanisme pasar.
"Kalau pricing memang industri yang menentukan, mau ada fee, mau nggak ada fee, biar mekanisme pasar. Saya rasa BI kan juga tidak mengatur pricing," ujarnya.
Menurut dia, konsumen bisa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan yang memadai dari pelaksanaan gerakan non tunai, apabila penentuan biaya isi ulang saldo diupayakan oleh industri perbankan.
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai keputusan Bank Indonesia yang memperbolehkan industri perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik kontradiktif dalam upaya menggencarkan transaksi non tunai.
Bhima mengatakan pengenaan biaya itu bisa menjadi disinsentif, terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017.
Menurut dia, pengenaan biaya isi saldo dikhawatirkan justru membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik dan kembali memanfaatkan transaksi tunai.
Seharusnya, tambah dia, BI dan industri perbankan memberikan insentif bagi masyarakat, karena bank-bank sudah mendapat keuntungan dari marjin penjualan kartu perdana uang elektronik.
"Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-Money tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi," ujar dia.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017