Dunia sejauh ini mengenal sastra Indonesia setidaknya lewat karya Pramoedya Ananta Toer, yang beberapa kali dinominasikan sebagai kandidat peraih Nobel untuk Sastra.
Belakangan nama Eka Kurniawan muncul ke kancah sastra dunia karena novelnya menjadi salah satu calon pemenang untuk anugerah Booker Prize dan pernah memeperoleh penghargaan dari harian The Financial Times.
Meskipun nama Andrea Hirata mencuat ke jagat perbukuan di ranah global, ketenarannya sebatas pada banyaknya penerbit asing yang menerjemahkan karyanya. Bukan seperti Eka, yang dikenal dunia karena masuk dalam jajaran persaingan perebutan anugerah sastra bergengsi di Eropa.
Karena minimnya pembaca sastra di tingkat internasional yang mengenal sastra Indonesia, kini ada ikhtiar untuk memperkenalkannya melalui apa yang dinamakan promosi sastra Indonesia lewat festival seni internasional Europalia2017.
Dalam proyek ini, karya-karya sastra terpilih akan diterjemahkan ke salah satu bahasa di Eropa sebagai jalan memperkenalkan sastra Indonesia ke pembaca di Eropa.
Festival seni Europalia ini bisa dianggap sebagai realisasi upaya memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia secara kontinyu setelah sebelumnya upaya seerupa yang lebih ekstensif dilakukan lewat Frankfurt Book Fair 2015.
Upaya memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia belakangan ini terwujud karena ada komitmen dari pemerintah untuk membiayai kegiatan itu. Tanpa komitmen seperti itu, promosi serupa tak mungkin diwujudkan. Hal ini jelas tak sama dengan jalan yang ditempuh oleh karya-karya Pramodya Ananta Toer dalam meraih ketenaran global.
Dua jalan yang berbeda dalam meraih ketenaran global itu agaknya perlu dijadikan pembahasan untuk memilih mana yang lebih baik dijadikan kebijakan oleh pemerintah.
Artinya, biarlah kekuatan pasar yang menjadikan sebuah karya sastra itu mencari jalannya ke ranah dunia. Atau, pemerintah perlu didesak untuk mengalokasikan biaya dengan jumlah signifikan tanpa menanti ada penerbit asing yang berminat menerjemahkan karya sastra Indonesia.
Tentu dua jalan itu perlu dilakukan secara serempak. Karya-karya yang populis seperti novel Andrea Hirata tak perlu menunggu negara untuk membiayainya dalam penerjemahannya ke bahasa-bahasa asing. Namun, untuk karya-karya yang dianggap perlu diperkenalkan ke dunia namun penerbit asing tak berminat membiayainya, pemerintahlah yang mesti turun tangan untuk membiayainya.
Sejak Indonesia masuk ke sistem politik yang tak lagi otoriter, tak perlu diragukan lagi pemilihan karya yang akan dibiayainya untuk diperkenalkan di panggung internasional. Berbeda dengan ketika Orde Baru masih menguasai perpolitikan di Tanah Air, yang selalu menampik untuk membiayai penerbitan karya-karya sastra yang kritis terhadap pemerintah.
Namun, keterlibatan pemerintah dalam pembiayaan penerbitan karya sastra Indonesia ke bahasa asing sebaiknya tak dilakukan untuk karya-karya yang belum teruji dalam pergulatannya sebagai karya yang betul-betul berkualitas.
Janganlah dana negara itu digunakan untuk menerjemahkan karya-karya sastrawan yang masih berjuang menemukan takdirnya sebagai karya yang dikagumi banyak pembaca. Apalagi bila pemilihan atas karya sastra yang demikian itu dilakukan atas lobi-lobi sang sastrawan atau kerabat sastrawan yang kebetulan adalah figur yang dekat dengan kekuasaan.
Itu sebabnya, jika pilihannya adalah menerjemahkan karya-karya sastra yang sudah mendunia karena kualitasnya seperti karya Pramoedya, atau menerbitkan dalam bahasa asing karya sastrawan yang dianggap perlu diperkenalkan ke dunia, tampaknya pilihan pertama yang perlu diprioritaskan.
Kenapa? Sebab setiap sastrawan harus bertarung dengan kekuatannya sendiri lewat dinamika persaingan dengan sastrawan lain sebelum pemerintah memilihnya untuk menerbitkannya dalam bahasa asing.
Yang ideal memang penerbit asing itulah yang menerbitkan karya sastra Indonesia yang dinilai layak untuk diterjemahkan ke bahasa asing tempat penerbit itu beroperasi.
Dalam konteks ini, sistem politik yang mengandalkan pasarlah yang paling kompatibel dalam memacu mendunianya karya-karya sastra Indonesia di panggung dunia. Tugas pemerintah cukuplah memberikan sistem pendidikan yang berkualitas sehingga lahir sastrawan-sastrawan yang sanggup berkiprah di panggung internasional. Di sini pemerintah tak perlu lagi mendongkrak sang sastrawan untuk meraih reputasi internasinal dengan membantunya menerjemahkan dan menerbitkannya dalam bahasa asing.
Sering kali terbukti bahwa karya-karya sastra asing yang penerbitan dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia difasilitasi oleh pemerintah bersangkutan adalah karya-karya yang tak memberikan impresi yang membekas dan kualitas yang jempolan.
Di tahun-tahun 80-an sejumlah kedutaan besar asing di Jakarta membagikan karya-karya sastra dalam edisi bahasa Indonesia. Karya-karya yang mereka terbitkan adalah umumnya karya yang kurang berkesan. Sebaliknya, karya-karya asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit swasta di Indonesia, misalnya Pustaka Jaya, justru merupakan karya-karya yang memang berkualitas dan memberikan kesan yang mendalam.
Fakta itu bisa digunakan untuk menyimpulkan bahwa fasilitas yang diberikan pemerintah untuk mendongkrak karya sastrawan yang belum teruji lewat persaingan pasar tak akan mendapat respons luar biasa dari pembaca, setidaknya jika dibandingkan dengan karya yang dipilih penerbit swasta sendiri untuk diterjemahkan dan diterbitkan.
Pemerintah yang mencoba untuk memberikan bantuan pada karya sastrawan yang belum teruji juga bisa dianggap kurang fair karena sastrawan yang belum teruji jumlahnya cukup banyak sementara karya yang dipilih untuk dibantu hanya sebagian kecil daripadanya.
Itu sebabnya, penganugerahan karya sastra lewat institusi pemerintah, meskipun jurinya dipilih dari kalangan sastrawan, tak pernah bergengsi dibandingkan jika hal itu dilakukan oleh lembaga partikelir.
Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017