Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tidak akan gegabah mengambil keputusan menaikkan pajak transaksi saham seperti yang dilakukan Cina. "Pokoknya pemerintah melihat semua kemungkinan tetapi berbagai keputusan yang sifatnya strategis akan dianalisa, dipikirkan, dan dibahas secara hati-hati," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu. Menkeu menyatakan hal itu menanggapi pertanyaan apakah Indonesia akan mengikuti langkah Cina yang menaikkan pajak transaksi saham. Cina menaikkan pajak transaksi saham karena pasar saham sedang "bullish". Sementara itu Dirjen Pajak Darmin Nasution menyatakan bahwa pihaknya memang tengah melakukan exercise berkaitan dengan pajak transaksi saham. Menurut Darmin, rencana kenaikan pajak transaksi saham sebenarnya pernah diusulkan oleh Menteri Keuangan sebelumnya, namun usulan itu ditolak. "Exercise memang sedang kita lakukan, tapi jangan tanya besarnya (kenaikan) dulu lah," katanya. Sedangkan Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Airlangga Hartarto mengkhawatirkan adanya kenaikan pajak transaksi saham akan mengganggu aktivitas di pasar modal. "Karena hingga saat ini kami masih berjuang untuk menurunkan pajak transaksi saham perusahaan publik. Kalau ini belum dikasih, kemudian justru dinaikkan kan berarti tidak sesuai dengan perjuangan," katanya. Menurut dia, kalau memang benar ada rencana menaikkan pajak maka hal itu merupakan sinyal yang mengkhawatirkan bagi pasar modal. "Karena insentif yang diminta belum didapatkan, tapi malah ini naik duluan," katanya. Ketika ditanya bahwa kenaikan dari 0,1 persen ke 0,3 persen dari nilai transaksi tidak signifikan, Airlangga mengatakan, bagi pasar modal selisih 0,2 persen cukup signifikan. "Yang jelas kan signalnya berlawanan dengan ekspektasi pasar yang menghendaki adanya insentif," katanya. Ketika ditanya apakah rencana itu akan memicu terjadinya pelarian modal, Airlangga mengatakan, yang dikhawatirkan adalah adanya penurunan volume perdagangan. "Daily trading kita kan sekarang Rp6 triliun, kita khawatirnya akan turun," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007