New York (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menjadi salah satu panelis dalam Simposium Tahunan Trygve Lie yang membahas tentang kebebasan beragama di sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (BB) ke-72 di New York, Kamis.
Dalam simposium yang diselenggarakan oleh International Peace Institute (IPI) di UN Plaza itu, Menteri Luar Negeri mengemukakan bahwa Indonesia yang 85 persen dari sekitar 260 juta penduduknya Muslim juga menjadi rumah bagi umat beragama lain termasuk Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu dan penganut aliran kepercayaan.
"Toleransi lah yang membuat Indonesia bersatu sebagai suatu negara. Oleh karena itu usaha-usaha kita untuk melindungi hak-hak kebebasan beragama dan perdamaian harus berjalan bersama dengan kerja kita dalam memelihara toleransi," katanya.
Mendorong semangat toleransi dan kebebasan beragama dan berkepercayaan, ia mengatakan, merupakan cara efektif untuk melawan ekstremisme yang mengatasnamakan agama.
"Ekstremis religius telah dengan tidak benar menggunakan agama untuk membenarkan kebijakan yang tidak berperikemanusiaan mereka," kata Retno.
Krisis Rohingya mengemuka
Dalam simposium yang dihadiri berbagai komunitas internasional itu juga mengemuka isu krisis di Rakhine, Myanmar.
Menteri Luar Negeri Norwegia Borge Brende, yang juga menjadi pembicara, menggarisbawahi bahwa walau pun etnis Rohingya bukanlah etnis mayoritas di Myanmar, mereka adalah etnis yang penting bagi masyarakat dunia.
PBB menyebut etnis Muslim Rohingya sebagai salah satu kelompok etnis minoritas paling teraniaya di dunia.
Hak asasi manusia adalah universal dan tidak mungkin memisahkan hak-hak mereka untuk kebebasan beragama atau berkepercayaan dari hak-hak sipil paling dasar dan hak-hak politik seperti hak untuk hidup, hak untuk privasi, dan kebebasan untuk berkumpul dan berekspresi, kata Brende.
"Kebencian kolektif yang bersifat religius bukan lah suatu fenomena alami, tetapi itu disebabkan oleh tindakan manusia. Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi dan adalah kewajiban moral kita untuk bekerja mencari solusi," kata Brende.
Dalam simposium tersebut Presiden IPI Terje Rod-Larsen meminta Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menceritakan perjalanan diplomasinya ke Myanmar dan Bangladesh terkait krisis kemanusiaan di Rakhine.
"Saya menyebutnya maraton diplomasi," kata Retno.
Pada 3-5 September, Menlu Retno terbang ke Myanmar untuk bertemu panglima militer, penasihat negara dan sejumlah menteri Myanmar, serta perwakilan PBB dan duta besar di Yangoon dan Naypyidaw.
Dalam pertemuan dengan Aung San Suu Kyi, Retno menyampaikan Formula 4+1 untuk Rakhine State: (i) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (ii) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (iii) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State, tanpa memandang suku dan agama; dan (iv) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
Empat elemen pertama dari formula tersebut adalah tanggung jawab bagi pemerintah Myanmar, kata Retno.
Satu elemen lainnya adalah pentingnya rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine State pimpinan mantan Sekjen PBB Kofi Annan dapat segera diimplementasikan.
"Apa yang dunia internasional bisa lakukan adalah memberikan bantuan kemanusiaan dan juga implementasi dari laporan Annan tersebut," katanya.
Menteri Luar Negeri juga ke Dhaka, Bangladesh, untuk bertemu timpalannya serta UNHCR dan IOM guna mendapatkan penjelasan tentang perkembangan situasi para pengungsi Rohingya di perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Simposium Tahunan Trygve Lie tentang Kebebasan Fundamental merupakan hasil kerja sama antara IPI dan Kementerian Luar Negeri Norwegia yang dimulai pada 2008 lalu.
Simposium kali ini menghadirkan panelis seperti Pangeran Zeid Raad Al Hussein dari badan urusan HAM PBB, OHCHR, dan Direktur Eksekutif Minority Rights Group Mark Lattimer.
Pewarta: Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017