Jakarta (ANTARA News) - Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI), DR Effendi Gazali, berpendapat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya memenuhi undangan DPR untuk menghadiri rapat paripurna mengenai dukungan pemerintah terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747. "Jika Presiden datang, maka hasilnya akan sangat berbeda. Ada perbedaan DPR menghadapi Presiden dengan DPR menghadapi para menteri yang diutus," katanya, seusai Diskusi Panel bertajuk "Pilkada DKI Jakarta 2007 Harus Mengakomodasi Calon Independen" yang diselenggarakan di Wisma ANTARA, Jakarta, Rabu. Effendi mengatakan, meskipun dilihat dari segi substansinya nilai pentingnya agak berkurang sejalan perjalanan waktu, namun ketidakhadiran Presiden akan berdampak pada kualitas hubungan Presiden dengan beberapa tokoh di DPR. "Sebutlah tokoh-tokoh kemarin yang bersuara lantang, yang di mana menganggap Presiden melecehkan karena Presiden tidak datang. Jadi, akan sangat berbeda jika Presiden datang atau diwakili," ujarnya. Ia berpendapat, sebenarnya yang lebih dibutuhkan para anggota dewan adalah keinginan untuk menunjukkan kesetaraan posisi mereka, dan hal itu telah diungkapkan dalam rapat paripurna Selasa (5/6). "Sebelum membuat kebijakan yang begitu penting, apalagi yang menyangkut emosi bangsa Indonesia, sampaikanlah lebih dulu ke DPR. Yang lebih dibutuhkan teman-teman di DPR adalah keinginan menunjukkan posisi mereka yang setara," kata Effendi. Oleh karena itu, Effendi mengingatkan, jika di masa mendatang Presiden dipanggil lagi oleh DPR, maka jauh-jauh hari pihaknya berharap, agar Presiden datang. "Jangan lupa, interpelasi adalah sarana politik. Di belakangnya, mungkin ada kekesalan-kekesalan yang dipicu hasil 'reshuffle'. Itu semua harus dikalkulasi oleh Presiden. Harus ada hitungan," demikian Effendi Gozali. Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/6) dengan agenda mendengar tanggapan pemerintah atas hak interpelasi terkait dukungan Indonesia terhadap Resolusi DK-PBB No 1747, ditunda hingga waktu yang belum ditetapkan. Penundaan itu, menyusul banyaknya interupsi dan tidak adanya kesamaan pandangan di antara para anggota dewan mengenai penafsiran terhadap Tata Tertib DPR. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007