Jayapura (ANTARA News) - Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar, Senin, mengatakan dari pemeriksaan tersangka S, terungkap bahwa dia sudah tiga kali menerima pasokan paket paracetamol cafein carisoprodol (PCC) atau pil zombie yang dikirim dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Pertama kali paket berisi pil PCC diterima Agustus akhir dan bulan September 2017 dua kali termasuk yang digagalkan oleh anggota kepolisian, Sabtu (16/9).
"Setiap kali tersangka menerima paket berisi sekitar seribuan pil PCC dari Makassar," kata Kapolda Irjen Pol Boy Rafli kepada wartawan dalam keterangan pers yang didampingi Kepala BNN Papua Brigjen Pol Bambang Budi Santoso dan Kepala BPOM Jayapura Mugi Yunita Bukit di Jayapura.
Kapolda Papua mengatakan, dari laporan yang diterimanya terungkap pil PCC yang diterimanya dijual seharga Rp50 ribu/paket yang berisi 10 butir pil dengan sasaran anak-anak dan remaja serta di tempat lokalisasi.
Ribuan pil yang dikenal sebagian besar sudah diedarkan namun hingga kini belum ada laporan terkait dampak yang ditimbulkannya.
Masyarakat juga diminta lebih waspada dengan senantiasa mengawasi anak anak mereka karena para pengedar lebih banyak memilihnya karena lebih mudah dipengaruhi.
Kepada pengusaha yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang, Kapolda Papua menyampaikan ucapan terima kasih dan berharap seluruh karyawan lebih waspada serta mengawasi barang barang yang mencurigakan yang diterima dan akan disalurkannya.
Para pengedar saat ini tidak lagi mengirim dengan cara menyelundupkannya seperti narkoba jenis ganja melainkan dengan teknik mengirim melalui jasa pengiriman resmi.
"Waspada dan bila mencurigakan segera laporkan ke polisi untuk diselidiki lebih lanjut," kata Kapolda Irjen Pol Boy Rafli.
Sementara itu Kepala BPOM Jayapura Mugi Yunita Bukit mengakui, PCC merupakan obat ilegal yang sudah ditarik sejak 2013.
"Ada beberapa jenis obat yang sudah ditarik dari peredaran akibat sering disalahgunakan karena efek yang ditimbulkannya," kata Yunita Bukit.
Tersangka S akan dijerat undang undang kesehatan dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Pewarta: Evarukdijati
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017