Jakarta (ANTARA News) - Doktor Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Denny Indrayana, mengatakan interpelasi DPR adalah proses biasa dalam hukum ketatanegaraan yang tidak harus dihadiri oleh Presiden, sehingga tidak akan berujung pada pemakzulan Presiden. "Dalam UUD 1945, Susduk dan Tatib DPR tidak ada kewajiban Presiden untuk hadir secara pribadi," katanya di Jakarta, Rabu. Pada Selasa (5/5), DPR menggelar Rapat Paripurna dengan agenda mendengar tanggapan pemerintah atas hak interpelasi terkait dukungan pemerintah RI terhadap Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.1747 mengenai sanksi tambahan terhadap Iran akibat pengayaan nuklirnya. Menurut Denny, dari perspektif hukum tatanegara, tidak ada kewajiban bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk hadir dalam rapat paripurna tersebut. Jika Presiden hadir, maka justru akan terjadi kerancuan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dia mengatakan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia tidak mengatur kewajiban presiden untuk melapor dan mempertanggungjawabkan kebijakan kepada parlemen. Lebih lanjut Denny mengatakan ketidakhadiran presiden untuk menjawab pertanyaan DPR juga sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan beberapa presiden terdahulu. Terkait potensi pemakzulan, Denny menegaskan interpelasi DPR kali ini sangat jauh dari mekanisme pemakzulan Presiden Yudhoyono. Hal itu disebabkan interpelasi mengusung isu nuklir Iran yang bukan merupakan alasan kuat bagi perlemen untuk memakzulkan Presiden. "Itu kan masalah kebijakan dalam konteks politik luar negeri," katanya. Menurut Denny, pemakzulan seorang Presiden tetap harus didasarkan pada pasal 7A UUD 1945. Dalam pasal pemakzulan itu dinyatakan Presiden hanya bisa diberhentikan jika terbukti berkhianat kepada negara, melakukan tindak pidana korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat dan tercela lainnya. Isu Iran sangat tidak berpotensi untuk mengarah ke pemakzulan karena tidak mengandung ketentuan pemakzulan dalam UUD 1945, katanya. Rapat Paripurna DPR di Gedung DPR/MPR pada Selasa( 5/6) dengan agenda mendengar tanggapan pemerintah atas hak interpelasi terkait dukungan pemerintah RI terhadap Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.1747 mengenai sanksi tambahan akibat pengembangan nuklir Iran berakhir anti-klimaks, karena DPR gagal mengambil keputusan menyusul adanya ketidaksamaan mengenai penafsiran terhadap Tata Tertib DPR. Hal itu adalah ujung dari kericuhan rapat akibat "hujan" interupsi dari anggota DPR. Anggota DPR berbeda-beda pandangan dan sikap menafsiran Tata Tertib DPR, khususnya mengenai perlu-tidaknya Presiden hadir langsung ke DPR menjawab pertanyaan anggota DPR, terkait hak interpelasi yang diajukan. Dalam rapat tersebut, Presiden Yudhoyono tidak hadir dan hanya menugaskan sejumlah menteri untuk menjawab pertanyaan anggota DPR terkait dukungan pemerintah terhadap Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.1747 mengenai pengembangan nuklir Iran. (*)
Copyright © ANTARA 2007