Sidoarjo (ANTARA News) - Lambatnya penghentian dan penanganan luapan lumpur Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jatim, tidak lepas dari ketidakseriusan pemerintah mengatasi hal ini, bahkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 yang bagi masyarakat korban luapan lumpur sebagai payung hukum penyelesaian masalah, ternyata juga cacat hukum.Hal ini diungkapkan oleh KH Mujib Imron, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo dan Badan Penanganan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Sidoarjo, Selasa."Keluarnya Perpres No 14 Tahun 2007 itu, tanpa melalui dialog dan persetujuan dengan DPR-RI. Padahal, dalam Perpres untuk menangani luapan lumpur itu, anggarannya diambilkan dari APBN, yang tentunya harus melalui persetujuan DPR," kata anggota DPD dari Jatim ini.Menurut dia, keluarnya Perpres tanpa melalui konsiderasi itu juga berimbas pada lambatnya penanganan luapan lumpur di lapangan, terutama permasalahan dana. Hal itu, karena pihak-pihak yang dilibatkan dalam penyelesaian luapan lumpur ini tidak pernah diajak presiden untuk membicarakannya terlebih dahulu. "Saya sudah memanggil kepala BPN pusat, ternyata juga tidak pernah diajak bicara, demikian juga kami (DPD) maupun DPR," katanya menegaskan. Akibat tidak adanya pembicaraan dengan DPR dan pihak-pihak terkait itu, membuat keabsahan BPLS dipertanyakan. Apalagi, sampai saat ini, tim verifikasi untuk pemberian ganti rugi dalam bentuk jual beli tanah milik warga korban luapan lumpur ini juga belum melakukan aksi nyata yang optimal. "Lapindo Brantas Inc, melalui Minarak Lapindo Jaya sampai saat ini hanya menerima 522 berkas, dan itu sejak jamannya Timnas dulu. Sedangkan, tim verifikasi BPLS sekarang ini belum menyerahan berkas milik warga sama sekali," katanya. Ia juga sempat mempertanyakan pendanaan yang digunakan oleh BPLS , ternyata masih pakai dana pinjaman (talangan). "Ini terjadi, karena tidak seriusnya pemerintah dalam menangani permasalahan luapan lumpur ini," katanya. Untuk mempercepat proses verifikasi jual beli tanah warga korban luapan lumpur ini, pihaknya menyarankan agar tim verifikasi bertemu dan duduk satu meja dengan PT Minarak. "Kalau kedua belah pihak sudah ketemu, akan lebih mudah menangani masalah verifikasi jual beli tanah warga," katanya. Pihaknya juga berjanji akan mendesak presiden agar benar-benar serius menangani permasalah luapan lumpur ini. Namun demikian, ia berharap, agar masyarakat korban luapan lumpur juga mendesak DPR. "Kami memang bisa meminta menteri-menteri untuk bertemu, tapi akan lebih bagus lagi kalau warga korban lumpur ini mendesak DPR untuk juga terlibat dalam penyelesaian masalah ini," tambahnya. Bupati Siap Sementara itu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, menanggapi masalah sosial terkait ganti rugi dalam bentuk jual beli tanah warga korban luapan lumpur Lapindo ini, berjanji akan bertanggung jawab selama untuk kepentingan rakyat. "Pada prinsipnya, apa yang diminta Lapindo, terkait ganti rugi tanah warga tersebut, akan dipenuhi dan bupati akan bertanggung jawab, selama itu untuk kepentingan rakyat," katanya setelah dialog dengan DPD-RI. Apalagi, menurut dia, jika dibandingkan dengan Timnas, komponen yang dilibatkan dalam tim verifikasi dari BPLS ini lebih lengkap. "Proses verifikasi ganti rugi (jual beli) tanah korban lumpur ini terus bergulir, mulai dari timnas dulu dan sekarang BPLS yang lebih lengkap, dalam tim ini juga disertakan kejaksaan dan kepolisian. Baru setelah itu, Bupati akan menandatangani berkas warga," tambahnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007